Kamis, 09 Oktober 2008

Belenggu Itu

BRUKK!!!

Mika menghantam mejaku. Kepalan tangannya terpampang tepat di depan wajahku yang tertelungkup di atas meja. Tatapan matanya menyiratkan apa yang ada di dalam kepalanya.

“Ada apa?” tanyaku polos.

“Kenapa kamu nolak Rei?”

“O...” aku meng-o sambil mengangkat wajahku. “Malas aja.”

“Malas? Apa kamu selalu malas buat nerima cowok?” tanyanya kesal. Aku hanya diam saja. “Kamu tuh sadar gak sih kalau kamu selalu nolak cowok yang nembak kamu. Sampai-sampai ada yang beranggapan kalau kamu tuh kelainan.”

“Ya suka-suka mereka dong mau beranggapan seperti apa. Yang penting akunya gak kayak gitu,” sungutku kesal.

“Lagi-lagi kamu ngejawab kayak gitu. Emang kenapa sih kamu gak mau pacaran?”

“Malas, Ka. Bukannya gak mau.”

“Ya-ya. Kenapa?”

“Gak kenapa-napa kok, Ka. Sudahlah jangan ngebahas soal itu lagi, masih banyak kok hal lain yang bisa kota bahas. Oke?” pintaku.

***

“Huh!” aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Rasanya lega sekali bisa lepas dari runtutan pertanyaan Mika. Aku benar-benar malas untuk pacaran karena menurutku itu gak penting. Yang namanya cinta itu gak ada. Cinta itu hanya karangan dari para penganut paham romantisme.

“Ning, kamu di dalam ya? Boleh Mas masuk?”

“Mas Dimas ya? Masuk aja!” jawabku dari dalam kamar.

Mas Dimas masuk. Mas Dimas ini kakak lelakiku. Dialah orang yang paling dekat denganku. Orang yang selalu mendengarkan dan berbagi keluh kesah denganku.

“Kenapa mas? Kok kayaknya kusut banget? Ada masalah lagi ya di bawah?” tanyaku sambil duduk di tepi kasur.

Mas Dimas mengangguk. “Mas bingung, Ning. Rasanya sudah bosan banget tinggal di rumah ini. Tiap hari selalu aja ngedengarin orangtua kita ribut.”

“Mas jangan ngomong kayak gitu dong! Ning bisa bertahan sampai sekarang khan karena ada mas Dimas,” ujarku.

Sebenarnya alasan utama aku malas pacaran adalah karena sejak kecil aku selalu saja menyaksikan kedua orangtuaku rubut karena hal-hal sepele.

“Kenapa lagi?”

“Ibu bilang kalau bapak selingkuh dengan karyawan kantor.”

Aku memejamkan mataku. Kenapa ibu selalu berprasangka buruk pada bapak?

“Kenapa sih mereka seperti anak kecil terus? Kenapa sih mereka gak pernah mikirin perasaan kita sebagai anaknya? Apakah mereka pikir apa yang telah mereka lakukan itu pantas untuk tampak oleh kita?”

“Mas, kita jangan sampai kayak bapak sama ibu ya! Janji ya kalau kita sudah dewasa nanti kita gak akan kayak mereka!” pintaku.

Mas Dimas mengangguk. Beberapa hari belakangan ini mas Dimas tampak lebih kurus. Matanya juga tambah sayu.

“Mas sakit?” tanyaku.

“Gak kok,” jawab mas Dimas sambil menggeleng.

“Kenapa pucat gitu?”

“Cuma kurang tidur. Kamu gak usah cemas gitu!”

“He-eh,” aku mengangguk pelan. “Aku cuma punya mas Dimas. Aku gak mau mas kenapa-napa.”

“Ya-ya. Mas ngerti,” ujar mas Dimas sambil mengacak-ngacak rambutku.

***

“Mau gak jadian sama aku?”

“Maaf,” ujarku pada Tio siang itu. Sebenarnya Tio itu anak yang baik. Dia pintar dan juga siswa teladan. Tapi aku sudah terlanjur tidak mempercayai keberadaan cinta. “Aku bukan cewek yang pantas buat kamu.”

Aku melangkah pergi meninggalkan Tio yang hanya diam mendengar jawabanku. Seperti biasa. Mika langsung menemuiku dan bertanya panjang lebar.

“kenapa lagi Ning? Apa lagi sih kurangnya Tio?”

“Dia cowok sempurna kok. Sudah pntar, cakep, baik, teladan lagi,” jawabku. “Dia gak punya kekurangan apapun.”

“Jadi kenapa kamu nolak dia?”

Aku hanya diam. Malas menjawab pertanyaan yang hanya itu-itu saja.

“Sebenarnya gimana sih tipe cowokmu itu?”

“Gak ada,” jawabku sambil menggeleng.

“Kamu ini kenapa sih? Bisa gak kamu tuh nerima kehadiran cowok lain dalam diri kamu selain mas Dimasmu itu?”

“Kemu kenapa sih, Mik? Kamu itu selalu ikut campur masalah aku. Penting banget ya buat kamu aku ini jadian sama siapa?” ujarku mulai kesal dengan tingkah Mika yang menurutku sudah melampaui batas privasi.

“Ning, aku tuh cuma pengen kamu gak dianggab aneh sama temen-temen.”

“Mesti berapa kali aku bilang. Itu terserah mereka. Yan penting aku gak kayak gitu,” ujarku. “Sekali lagi aku minta, jangan campuri urusanku!” seruku kemudian pergi meninggalkan Mika.

“Terserah. Kalau itu yang kamu mau bakal aku turuti. Aku gak bakal mau tau sama urusan kamu lagi.”

Aku tidak memperdulikan perkataan Mika. Aku mempercepat langkahku agar bisa cepat sampai rumah.

***

Sesampainya di rumah lagi-lagi aku mendengar bapak sama ibu ribut. Aku melangkah cepat agar tidak perlu mendengar keributan itu lebih lama lagi.

“Ningsih, kenapa baru pulang?” tanya ibu saat aku lewat di depan mereka.

“Tadi ada perlu sama teman, Bu.”

“Huh! Kalian itu kakak beradik sama saja. Kalau ditanya suka menjawab sesuka hati. Kakakmu itu pergi gak jelas kemana. Baru pulang sudah pergi dengan teman-temannya. Seperti berandalan saja. Kalau dibilangin gak pernah mau dengar.”

Aku hanya diam tidak menjawab perkataan ibu. Kalau ibu punya masalah pasti yang lain kena rembesan. Seperti sekarang. Biasanya ibu gak pernah perduli aku pulang jam berapa, mas Dimas mau kemana dan pergi sama siapa. Kalau sekarang aku jawab pasti yang lain-lain juga bakal kena rembesan.

Aku pergi ke kamarku tanpa memperdulikan ibu yang terus ngomel. Ku tutup pinti kamarku itu rapat-rapat agar suara ibu tidak terdengar. Tanpa sadar aku menghela napas.

“Mas Dimas pergi kemana ya?” pikirku. “Telpon aja ah!”

Ku raih ponselku dari dalam tas. Baru saja aku mau menelpon, mas Dimas sudah menelponku lebih dulu.

“Mas Dima, mas di mana?” tanyaku cepat.

“Lagi di jalan sama teman. Ning, ibu sedang marah-marah di rumah.”

“Iya, Ning juga sudah tahu. Ning baru aja nyampe,” ujarku.

Mas dimas terdiam beberapa detik. “Ning...” ujarnya akhirnya.

“Apa?” tanyaku.

“Kamu baik-baik di rumah ya! Kamu harus jadi cewek yang tegar, jangan kayak mas!”

“Mas Dimas ngomong apa sih? Mas kan selalu bikin Ning semangat. Tegar. Mas jangan ngomong kayak gitu dong!”

“Maafin mas ya, Ning...”

Mas Dimas mematikan ponselnya.

Mas Dimas kenapa sih? Kok ngomongnya ngawur kayak gitu? Pikirku.

“Ning! Kamu mau ganti baju sampai kapan? Cepat turun lalu makan!” teriak ibu dari lantai satu.

“Iya, bentar lagi.”

***

Sudah tiga hari mas Dimas gak pulang. Dan selama itu pula mas Dimas gak nelpon aku. Padahal biasanya kalau dia gak pulang sehari saja dia pasti nelpon aku. Tapi sekarang jangankan buat nelpon aku, ponselnya aja gak pernah aktif setiap kali aku hubungi. Perasaanku jadi gak enak. Palagi kalau ingat kata-kata mas Dimas waktu itu. Kata-katanya seolah-olah mau pergi jauh ninggalin aku.

Ah! Gak mungkin mas Dimas ninggalin aku. Mas Dimas pasti pulang. Karena aku gak mau kehilangan mas Dimas.hanya dia keluarga yang memperhatikanku. Yang sayang sama aku.

Segerombola cewek melintas di depanku. Ah! Itu Mika. Dia ada di antara cewek-cewek itu. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Mika, mungkin dia masih marah karena aku sudah bicara kasar padanya.

Tanpa mas Dimas, tanpa Mika, aku merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Ah... biarlah. Toh selama ini aku memang sendiri. Sebelum bapak membawa mas Dimas anak istri pertamanya ke rumah, sebelum aku bertemu Mika sebelum aku bertemu mereka berdua toh aku memang hanya sendiri.

Aku melangkah menuju kelas. Aku bosan mendengar sorak-sorai orang di sekelilingku. Apalagi untuk mengakui kalau aku ini sendirian di antara mereka yang ramai.

***

Aku sedikit bingung. Tiba-tiba saja supir bapak menjemputku ke sekolah. Katanya ada sesuatu yang terjadi. Aku sama sekali tidak mengerti. Mengapa harus menjemputku pada jam sekolah? Mengapa tidak menungguku pulang saja dulu?

Di depan rumah ada beberapa polisi dan sebuah ambulance. Aku tambah tidak mengerti. Ada apa sebenarnya? Kenapa harus ada polisi dan ambulance?

Aku langsung melompat turun dari mobil daat sampai di depan pintu. Di dalam terdengar suara isak tangis. Mataku tertuju pada benda yang tertutup kain di tengah ruangan.

“Kamu yang tabah ya, Ning!” seseorang yang ku kenal berkata lembut padaku. Dia mbak Dewi. Mantan pacar mas Dimas.

“Mbak Dewi?” tanyaku. “Itu siapa?”

Mbak Dewi sama sekali tidak menjawab. Dia hanya tertunduk sambil menyeka matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

“Aku bersimpuh di depan jenazah itu. Tanganku gemetar saat membuka kain yang menutupi wajah jenazah.

Bagai tersambar petir rasanya saat aku melihat wajah yang tertutupi itu.

“MAS DIMAS?!”

Tanpa sadar air mata mengglinangi wajahku. Suara di sekelilingku membuat kepalaku sakit. Aku merasa pandanganku mulai kabur. Dan aku tak ingat apa lagi yang terjadi setelah itu.

***

Saat sadar aku sudah berada di kamarku. Mbak Dewi terduduk di tepi ranjangku.

“Mbak, ini semua hanya lelucon mas Dimas kan?” tanyaku masih tak percaya.

“Ning, kamu harus tabah!” ujar mbak Dewi mencoba tersenyum di balik kesedihannya.

“Ini mimpi mbak. Cuma mimpi,” ujarku histeris. “Kalau nanti aku bangun aku akan ketemu sama mas Dimas. Dan mas Dimas bakal nyambut aku dengan senyumnya. Dia akan selalu ada di dekatku mbak. Ini hanya mimpi. Aku ingin cepat-cepat bangun agar semua mimpi buru ini berakhir,” aku berteriak sambil terus menangis seperti orang gila.

“Ning, kamu harus bisa nerima kenyataan bahwa...” mbak Dewi tidak meneruskan kata-katanya. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

“Ini gak mungkin terjadi mbak...” isakku. “Mas Dimas gak mungkin pergi.”

Mataku menangkap sosok ibu dan bapak yang berdiri di pintu kamarku.

“Dewi, kami ingin bicara dengan Ningsih. Kamu bisa keluar sebentar?” pinta ibu.

Mbak Dewi hanya mengangguk kemudian beranjak meninggalkan kamarku. Ibu dan bapak duduk di sampingku.

“Begini Ning, mungkin ini terlalu cepat untuk kami sampaika. Tapi mau bagaimana lagi? Ibu dan bapak sudah tidak cocok lagi,” ujar ibu tenang.

“Maksudnya ibu sama bapak mau cerai?” tanyaku tak percaya.

Ibu mengangguk. “Sekarang kami menyerahkan semua keputusan di tangan kamu. Kamu mau ikut siapa itu hak kamu.”

“Iya, Ning. Sebenarnya kami tahu kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini sama kamu. Tapi masalah ini harus segera di selesaikan,” ujar bapak pula.

Aku tidak bisa menjawab. Baru saja tadi aku mendapat kabar kalau mas Dimas meninggal. Sekarang aku harus sudah menerima kabar kalau ibu sama bapak mau cerai. Kenapa masalah ini beruntun menyerangku?

“Ning, kamu gak harus mengambil keputusannya sekarang. Kamu masih punya waktu sampai besok.”

Aku tetap tidak menjawab. Ibu dan bapak beranjak meninggalkan kamarku. Aku tidak habis pikir, kenapa aku harus mendapat cobaan yang sebegitu besarnya? Apa aku akan sanggub menerima kenyataan ini? Ah... andai ini benar-benar hanya mimpi pasti aku tak perlu menderita begini.

***

Akhirnya berita mengenai kematian mas Dimas terliput oleh wartawan. Ternyata mereka benar-benar tidak mau mensia-siakan berita yang menyangkut keluarga pemilik agency model dan rumah produksi terbesar saat ini. Ibu dan bapak menyangkal anggapan para wartan kalau mas Dimas bunuh diri. Mereka tetap bersikeras kalau apa yang terjadi hanyalah kecelakaan. Padahal aku yakin sekali kalau mas Dimas sebenarnya bunuh diri. Itulah alasan mengapa dia berkata yang aneh-aneh saat bicara denganku untuk yang terakhir kalinya.

Sayangnya aku tidak bisa menjadi seperti apa yang mas Dimas harapkan. Aku meneguk obat yang ku ambil dari kotak obat.

“Mas, aku gak mau ikut ibu maupun bapak. Mereka gak pernah mau ngertiin perasaanku. Aku mau ikut mas, karena hanya mas dimas yang mau ngertiin perasaanku selama ini.”

Aku merasa kalau badanku mulai berkeringat. Kepalaku pusing. Napaskupun sesak. Aku merasa kalau tubuhku mulai lemas. Bahkan untuk sekedar membuka mataku saja aku tidak sanggub. Aku mulai merasa sakit untuk bernapas. Rasanya paru-paruku mau meledak. Aku juga merasa kalau detak jantungku mulai memelan. Obatnya sudah mulai bereaksi. Sebentar lagi aku akan meninggal dan bertemu mas Dimas. Dan besok pagi ibu dan bapak akan menemukan anak perempuannya meninggal bunuh diri dengan cara meneguk obat penurun gula darah. Semoga mereka bisa jadi lebih dewasa setelah meninggalnya aku.

Aku merasa kalau napasku telah berhenti. Rasanya sakit sekali. Tapi tubuhku meringan. Aku merasa kalau aku terbang meninggalkan ragaku dan tertiup angin entah kemana. Aku merasa kalau diriku mulai menghilang dari dunia ini. Aku merasa amat bahagia karena akan lepas dari segala masalahku.

Mungkin aku adalah orang yang kalah dari kenyataan dunia. Tapi tak apalah. Toh aku merasa damai dengan segala kekalahan dan keputusan yang ku ambil ini.

Belenggu Itu selesai

Tidak ada komentar: