“Aku terus menatapnya. Mengagumi anugerah Tuhan pada dirinya. Memuja namanya dan mengharapkan sapaannya...”
Wini tak melepas pandangannya dari Nanda. Cowok pujaan sejak kelas dua SMP. Sudah tiga tahun dia menyembunyikan perasaannya.
Nanda mendrible bola dengan cepat melemparnya ke ring, kemudian...
BUKK!!
“Aduh!” rintih Wini sambil menggosok-gosok bokongnya yang terlempar benda bulat. Dia membalikkan badannya dan menemukan seburat senyum menyebalkan. “Dion! Loe tau gak sih kalo dilempar pake bola tuh sakit?”
“Eh, sorry. Gue kira tadi bokong cewek cantik dari mana? Gak taunya loe,” kilah Dion sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sorry ya.”
Wini tetap cemberut sambil menggosok bokongnya. “Sakit tau!!!”
“Ya sudah, sebagai permohonan maaf gue traktir bakso deh.”
“Kalo cuma satu mending gak usah,” Wini kembali membalikkan badannya.
“Loe ini ya, badan doang yang kecil. Makannya segudang.”
Dion pun langsung merangkul Wini dengan lengannya dan menyeretnya ke warung bakso dengan paksa.
“Pokoknya mesti pakek ice cream...” protes Wini.
“Cerewet banget.”
Wini. Gadis mungil yang sangat menyukai Nanda. Penampilannya tidak seperti umurnya. Seringkali kalau dia tidak pakai baju seragam dikirain anak SD. Pernah suatu ketika dia mau beli baju seragam saat pertamakali masuk SMA justru dikasih seragam anak SD. Tapi meski dengan postur dan wajah seperti anak-anak gitu dia cukup disukai banyak orang. Salah satunya Dion. Teman akrabnya sejak masih kecil. Dion juga nyaris sama dengan Wini. Babby face abis. Wajahnya juga manis banget, padahal dia cowok. Sangking manisnya dia pernah ditembak sama anak cowok kelas sebelah waktu baru pindah SD ke Bogor. Wajah manisnya itu mengundang anugerah dan petaka untuknya. Gara-gara wajahnya banyak cewek yang memujanya tapi karena wajahnya pula banyak cowok suka sirik dan mengusilinya sampai nangis. Karena itulah Dion bisa kenal dengan Wini. Cewek mungil tapi pemberani ini pernah menolongnya dari gangguan cowok-cowok sirik itu. Tapi itu dulu. Dion yang sekarang meskipun tetap manis dan babby face dia sudah gak cengeng lagi.
***
Siang ini Wini terpaksa pulang sendiri. Dion mesti latihan bola kaki sampai jam lima entar. Padahal biasanya Wini pulangnya diantar sama Dion. Soalnya rumah mereka sebelahan.
Wini menghempaskan dirinya terduduk di halte. Mencoba berlindung dari sengatan matahari sambil menunggu angkot lewat. Ketika peluh kian deras membanjiri Wini sebuah ninja orange hitam berhenti di depannya.
“Loe Wini kan?” ujar siempunya motor setelah melepas helmnya.
Wini terdiam terpana ketika melihat seraut wajah yang tadinya tertutup helm. “Nanda?”
“Loe Wini kan?!” tanya Nanda lagi dengan suara yang lebih keras.
“Eh, iya. Iya gue Wini,” jawab Wini sambil mengangguk-angguk.
“Mau gak jadi cewek gue?”
“What?” Wini terbelalak sangking kagetnya. Jantungnya berdebar sangat cepat sedangkan nafasnya terhenti. Rasanya hati ini mau meledak sangking senangnya. “Mau... mau banget...”
“Kalo gitu naik motor gue. Gue bakal jelasin aturan mainnya.”
Winipun menuruti perkataan Nanda tanpa banyak tanya. Ini seperti mimpi...
***
Ternyata bisa jadian beneran sama Nanda itu buat Wini benar-benar cuma mimpi. Yang dimaksud Nanda tadi siang dengan ‘jadi cewek gue’ itu adalah jadi pacar bohongannya.
Orangtua Nanda bakal pindah ke Jakarta karena pekerjaan ayahnya. Tapi bagi Nanda kota besar yang sesak seperti Jakarta bukanlah tempat yang cocok baginya untuk main basket. Makanya, dia butuh alasan untuk tetap tinggal di Bogor. Timbullah ide untuk cari pacar bohongan di benaknya. Dengan begitu orangtuanya gak bakal tega buat maksa Nanda ikutan pindah. Kebetulan sekali tadi siang cewek yang masih ada di dekat sekolah cuma Wini. Jadilah Wini pacar bohongan Nanda sejak tadi siang. Nandapun langsung memperkenalkan Wini pada orangtuanya. Mereka akan terus menjalankan hubungan palsu itu sampai orang tuanya Nanda gi dua minggu lagi.
“Gak pa-pa deh. Meski cuma pacar bohongan gue tetap senang kok. Disapa dia aja sudah merupakan keajaiban besar buat gue...” ujar Wini di sela lagunya melly feat krisdayanti, cinta.
***
“Wini, cepat dikit dunk! Bentar lagi jam tujuh nih,” panggil Dion pagi itu.
Winipun muncul. “Eh. Dion.”
“Yuk cabut!”
“Ng... kayaknya hari ini loe berangkat sendiri deh,” ujar Wini. Dion mengernyitkan alisnya.
“Emang kenapa?”
“Soalnya mulai pagi ini gue...”
“Wini.” Panggil Nanda yang baru saja muncul dengan ninjanya. “Berangkat sekarang yuk!”
Dion menatap Wini meminta penjelasan, tapi Wini tidak punya banyak waktu lagi.
“Dion, entar pasti gue jelasin. Udah dulu ya. Bye.”
Wini meninggalkan Dion yang hanya bisa bingung menyaksikan apa yang barusan terjadi.
“Nanda?” lirihnya.
Dionpun melaju dengan BMW silver kesayangannya.
***
“Loe dekat banget ya sama Dion,” ujar Nanda membuka pembicaraan selama perjalanan ke sekolah pagi itu.
“Ya iya lah. Dia kan sobat gue sejak kecil.”
“Sejak kecil?”
“Iya, kita teman sejak SD kelas 4. Sejak pertama kali nyampe Bogor.”
“O...” Nanda meng-o. “Aku pikir kalian pacaran.”
“Apa? Pacaran? Sama Dion? Gak mungkinlah. Dia tuh seleranya tinggi banget.”
“Oya?”
“Iya. Loe tau ndiri kalo dia tuh beken. Model kayak dia ngelirik gue buat jadi pacar? Ya gak mungkin banget. Lagian kita tuh udah kayak saudara. Dia tuh udah kayak abang sendiri.”
“Tapi loe kan baik. Buktinya mau nolongin gue buat jadi pacar bohongan,” ujar Nanda tak terduga.
Wajah Wini memerah karena malu. “Loe gak tau sih kalo gue banar-benar suka dan sayang banget sama loe,” batinnya.
“Tapi bagus deh kalo kalian gak pacaran. Entar bisa berabe lagi,” Nanda memelankan laju motornya. “Win, sorry banget ya, gue sudah ngerepotin loe. Habis gak ada jalanlain. Gue gak mau kalo mesti ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, gue butuh banget kerja sama loe. Baik itu di hadapan orangtua gue ataupun di sekolah. Asalkan kita lagi berdua gue harap loe mau berakting selayaknya pacar gue. Karena gue rasa orangtua gue rada gak percaya kalo kita pacaran. Mereka pasti manfaatin teman gue buat cari tahu kebenarannya,” Nanda menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kata-katanya. “Gue mohon banget sama loe Win, bantu gue ya!”
“Iya. Gue senang kok bisa nolong loe.”
Nanda kembali memacu ninjanya.
“Gue juga gak mau kalo loe mesti pindah ke Jakarta,” batin Wini pula sambil memeluk Nanda kenceng-kenceng. Soalnya Nanda sudah mulai ngebut lagi.
***
“Win! Wini!” panggil Dion usai sekolah hari itu. “Loe kemana aja sih? Kok sulit banget buat ditemuin? Loe mo main petak umpet ma gue? Ingat umur dong! Loe tuh sudah gede,” omel Dion panjang lebar.
“Sorry deh. Sorry.”
“Loe kok kayaknya happy banget?”
“Hehe. Gue baru jadian ma Nanda,” Wini berbohong. “Maaf ya. Gue baru ngasih tau sekarang. Soalnya...”
“Loe terlalu sibuk sama cowok loe gitu?”
“Hehe, iya.”
“Ya udah. Go sana! Sudah ditungguin sama cowok loe dari tadi tuh.”
Wini membalikkan badannya dan menemukan Nanada sedang menunggunya di atas motor dengan sabar.
“Bye Dion sayang...” ujar Wini centil kemudian berlari menuju Nanda.
“Cinta emang gak selalu memiliki ya...” bisik Dion pada dirinya sendiri.
***
Dion terus memandangi album foto yang berisikan fotonya berdua dengan Wini. Ada tujuh buah foto peniupan lilin ulang tahun. Ulang tahun yang dirayakannya bersama Wini.
“Sudah tujuh tahun gue suka sama loe Win,” Dion kembali membalik album foto itu. “Tapi ternyata gue benar-benar cuma teman kecil buat loe. Padahal gue selalu berusaha biar loe ngelirik gue.”
Dion menutup album foto itu. Mendekapnya hingga tertidur.
***
“Wini!” panggil Nanda pada istirahat siang itu.
“Eh, Nanda. Ada apa nih?” tanya Wini seranya menghampiri Nanda yang tetap bediri di pintu kelasnya.
“Orangtua gue. Mereka akhirnya ngebolehin gue tetap tinggal di Bogor,” ujar Nanda dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja memperolleh permen. “Ini semua berkat kamu, Win. Makasih banget ya.”
“Iya, sama-sama. Gue senang kok kalo lioe senang.”
“Ng... Win,” ujar Nanda setengah berbisik. “Gue sudah nyusun skenario buat loe mutusin gue.”
Wini terdiam. Sungguh cepat kebahagiaannya berlalu. Dua minggu berjal;an bagaikan sekejap mata. Ya... dia harus bisa menerima kenyataan ini. Kalu dia harus segera mengakhiri kepura-puraannya. Nanda tidak pernah menyukainya.
“Wini? Loe kok diam?”
“Eh? Gak pa-pa. Jadi gimana caranya?”
“Ceritanya entar waktu acara ulang tahun gue sekaligus perpisahan sama orangtua gue, gue terlalu sibuk sama undangan. Terus loe marah, nampar gue, lalu loe mutusin gue.”
“O... kapan?” tanya Wini nyaris tak terdengar.
“Dua hari lagi.”
“Ya...” ujar Wini. “Ng... gue ke dalam lagi ya. Ada yang mesti gue kerjain. Bye...” dengan cepat Wini membalik tubuhnya. Matanya nyaris mengeluarkan air mata di hadapan Nanda. Itu gak boleh terjadi.
***
“Dion!!” panggil Wini.
“Eh, Win. Tumben loe gak bareng Nanda?”
“Gue lagi males aja,” jawab Wini sambil duduk di motor Dion. Sebenarnya ini salah satu dari rencana. Maksudnya agar pertengkaran mereka nantinya ada hal yang mendukung. Makanya hari ini tidak pulang dengan Nanda.
“Oya, Dion. Besok loe pergi ke acaranya Nanda?”
“Wah! Gak tau juga nih, Win. Besok gue ada tanding bola.”
“Loh? Bukannya minggu depan?”
“Itu sih jadwal pemotretan gue.”
“Ya... jadi loe gak ikut nih?” tanya Wini menyesali.
“Mau gimana lagi,” Jawab Dion apa adanya.
Ada sedikit kecewa di wajah Wini. “Berarti saat gue patah hati nanti mesti gue lewati sendiri,” ujarnya dalam hati.
“Tapi tenang aja! Begitu tandingnya kelar gue pasti langsung nyusul ke acaranya Nanda.”
***
Seperti yang telah direncanakan. Wini pergi ke pesta ulang tahun nanda naik taxi. Sesampainya di pesta Nanda menatap Wini sebentar dari kejauhan kemudian menghampirinya. Gaun putih yang Wini kenakan tampak berkilau.
“Loe cantik, Win,” ujar Nanda. Wini tersipu mendengar perkataannya. “Oya! Entar jangan lupa ya!” bisiknya pada Wini pula. “Beraktinglah sebaik mungkin. Buat mereka percaya.”
Wini menarik senyum hambar pada bibirnya. “Hari ini semua kepura-puraan itu berakhir. Kebahagiaan yang kurasakan bersama Nanda akan lenyap setelah kata putus itu kuucapkan. Tapi apa aku sanggub melakukan semua itu? Aku sudah terlalu hanyut oleh perasaanku sendiri,” batin Wini.
“Kenapa, Win?” tanya Nanda yang heran melihat Wini terdiam.
“O... gak pa-pa,” ujar Wini kembali mencoba tersenyum. “Gih sana pergi! Entar gak keburu.”
“Baiklah,” ujar Nanda. “Lakukan sebaik-baiknya ya!” pesan Nanda kemudian pergi bergabung dengan teman-temannya.
Wini pun melangkah menuju meja dan mengambil jus melon kesukaannya. Tapi Wini sama sekali tidak meminumnya. Yang dia pikirkan hanyalah Nanda. Diperhatikannya wajah yang rada mirip Samuel Rizal itu. Beberapa saat lagi dia dan Nanda akan mengakhiri semua kepura-puraan yang selama ini mereka jalani.
“Seharusnya sejak awal gue sadar. Loe gak bakalan bisa gue miliki. Loe emang ada di dekat gue. Sama-sama gue. Tapi mestinya gue tau. Itu semua hanya sandiwara. Kepura-puraan. Cuma gue aja yang berdebar sendiri,” batin Wini. Nyaris butiran air matanya tumpah. Tapi sapaan dari teman sekelasnya membuatnya terpaksa menukir senyum.
Akting dan kepura-puraan. Entah sejak kapan sudah menjadi hal biasa bagi Wini. Sekarang dia dengan santai ngobrol dengan teman-temannya.
“Sebentar lagi...” batinnya. “Semua bakal berakhir.”
***
“Gue duluan ya!” seru Dion langsung kabur setelah berganti seragam dengan kaos oblong.
“Loh? Loe gak ikut ngerayain kemenangan kita?” tanya salah satu anggota timnya.
“Sorry friend. Gue ada acara. Gue ikut happy-nya aja ya,” ujar Dion berbalik sesaat kemudian benar-benar kabur ke BMW-nya tercinta.
“Moga masih keburu ke acaranya Nanda,” bisiknya kemudian buru-buru melaju ke tempat acaranya Nanda.
***
“Kamu kenapa sih? Tiba-tiba aja marah gak jelas. Memang aku salah apa?” Nanda menarik tangan wini.
“Pikir aja sendiri! Kamu kira enak dicuekin selama dua jam?” balas Wini sambil mencoba melepaskan cengkraman Nanda.
“Ya, tapi aku kan gak tau kalau kamu gak suka. Dan dari tadi aku perhatiin kamu ok-ok aja ngumpul bareng yang lain.”
“Alasan. Pokoknya aku gak suka,” Wini kembali mencoba melepaskan cengkraman Nanda. Nanda melonggarkan cengkramannya hingga Wini terbebas.
“Cepat bilang putus!” isyarat Nanda ketika Wini hanya terdiam meski Nanda telah melepasnya.
“Win...” ujar Nanda.
Wini terus menunduk. Nanda kontan bingung.
“Win? Loe kenapa?” diangkatnya wajah Wini.
Wajah itu basah oleh air mata.
“Win, loe kok nangis?”
Semua yang tadi hanya terdiam melihat mereka yang tiba-tiba ribut kini mulai gaduh. Nanda segera memeluk Wini.
“Win, ini gak ada dalam skenario kan? Loe mau improv ya?” bisik Nanda. Wini justru terisak lebih kencang lagi.
“Maaf Nand, gue terlalu suka sama loe. Gue gak sanggub buat nyelesain semua ini. Gue pingin terus sama-sama loe. Gue egois ya...” batin Wini.
Wini melepas pelukan Nanda. Dengan masih terisak dia mencoba bicara.
“Maafin gue ya, Nand. Gue gak bisa.”
“Tanpa menunggu respon Nanda Wini pergi meninggalkan acara itu.
Nanda terdiam sejenak hingga akhirnya mengerti. Semua sudah terlalu jauh. Dan dia sadar, ada perasaan yang tumbuh diantara mereka tanpa dia sadari. Kini perasaan itu menyakiti Wini.
Saat tersadar Nanda langsung mengejar Wini.
“Win, tunggu gue! Gue ngerti! Please tunggu gue!”
Seolah tak mendengar Wini mempercepat langkahnya.
Malam itu tidak ada bulan. Hanya lampu jalan yang redup dan lampu kendaraan. Itulah penerang malam saat itu. Namun ternyata itu saja tidak cukup. Ketika hendak menyebrang jalan saat mengejar Wini, sebuah mobil melintas.
Terlalu cepat hingga Wini tak sempat melihat wajah Nanda untuk terakhir kalinya.
Wini berbalik. Menuju Nanda yang kini berlumur darah.
“Nanda! Nanda!” panggil Wini sambil memeluk tubuh yang kini tak bernyawa. “Nanda...”
“Wini...” lirih suara itu terdengar.
Wini mengangkat wajahnya. “Dion?”
Seketika Wini merasa tak ingin menyadari, Wini menolehkan pandangannya. BMW silver berada tepat di sampingnya.
“Gak...”
***
Dua minggu sejak Wini tak sanggub menyelesaikan sandiwaranya. Nanda menyadari semua yang telah terjadi. Dion melaju dan kecelakaan itu terjadi. Tak satupun dari mereka yang menginginkan hal itu. Tapi takdir berkata lain.
Kecelakaan itu merenggut nyawa Nanda. Menghapus keceriaan Wini. Dan menanam rasa bersalah pada Dion.
Ya... mobil yang dikendarai Dion menabrak Nanda. Tapi orangtua Nanda tidak menuntut Dion. Entah mengapa mereka sama sekali tidak mempersalahkan Dion. Seolah semua itu terjadi tanpa sebab. Tapi justru karena itu, Dion benar-benar merasa bersalah. Berkali-kali dia menemui orangtua Nanda. Tapii tak sedikitpun tampak kebencian pada mereka terhadap Dion.
”Semua ini kecelakaan. Tak satupun dari kita yang menginginkan,” kata itu selalu diucapkan oleh orangtua Nanda saat Dion menemui mereka. Sangat tulus terdengar. Membuat sesal itu semakin perih. “Itu takdir yang telah di tetapkan.”
Perih itu menjadi lebih membiru karena Wini terus menyalahkan dirinya sendiri. Seperti hari ini ketika Dion menemuinya.
“Coba gue selesaikan semua itu. Pasti Nanda gak ngejar gue. Pasti semua gak terjadi. Gue bodoh ya, Di. Seenaknya aja memaksakan kehendak gue.”
“Maafin gue, Win. Seandainya gue gak ngebut pasti...”
“Loe ngebut karena mau cepat-cepat ke acara itu kan? Gue yang salah. Maksa loe datang. Padahal loe sibuk.”
“Loe gak maksa gue, Win.”
“Loe selalu memenuhu apa yang gue mau. Gue egois...”
Dion memacu motornya melewati jalan yang licin itu. Rintk hujan menusuk wajahnya yang tak berhelm. Sesal itu telah mencapai ambang batasnya. Membawanya jauh dari sadar.
Gerimis mulai beralih menjadi hujan. Kian deras. Kian melicinkan jalan penuh tikungan yang dilaluinya.
Tanpa ia sadari air matanya telah bercampur dengan hujan yang menikamnya.
Sejak hari itu tak ada hal baik yang mebghampirinya. Tak satupun yang menyalahkannya. Tapi justru itulah yang menyakitkan.
Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dia sama sekali tak menghiraukan tikungan di depannya. Dion justu memacu motornya lebih kencang.
Pagar pembatas tikungan itu hancur dihantam motor yang Dion kendarai. Dia jatuh cukup tinggi. Memberi waktu yang cukup untuknya mengenang semua kebahagiaannya bersama Wini.
“Maaf...”
Itulah kata terakhir yang Dion ucapkan. Sedetik sebelum tubuhnya membentur bebatuan itu.
Dion tak sempat merasakan sakit itu. Karena sebelum darah membasahinya semua terlanjur gelap. Hening. Hampa. Dingin...
Sore itu, sekilas rintik hujan tak lagi putih bening.
***
“Eh, kalian masih ingat Dion?” bisik seorang mahasiswi pada teman-temannya.
“Dion yang mana?” tanya salah seorang temannya.
“Itu loh, Dion Yudha Maulana,” ujar sang Mahasiswi tadi.
“O.. Dion yang model sekaligus atlet bola kaki itu?”
Sang mahasiswipun mengangguk mengiyakan.
“Memang kenapa? Dia kan sudah meninggal tiga tahun lalu.”
“Iya nih. Ngapain juga ngomongin orang yang sudah gak ada,” ujar temannya yang dari tadi mencoba cuek, tapi tetap tidak bisa.
“Justru itu. Meninggalnya itu loh yang aneh,” ujar mahasiswi itu.
“Aneh apanya? Dia kecelakaan. Jatuh ke jurang gara-gara nabrak pagar pembatas.”
“Trus dari hasil autopsi dia gak lagi mabuk, dia juga gak make narkoba. Gak ada skandal atas kematiannya. Apanya yang aneh?”
“Justru itu. Gak ada alasan buat dia kecelakaan. Dia gak gila, gak make narkoba ataupun mabuk. Aneh kan?”
“Lantas apa? Dia dibunuh gitu?”
“Gak, bukan dibunuh, tapi bunuh diri,” jawabnya tegas.
“Eh?!” seru kedua temannya bingung.
“Gak mungkin orang lagi naik daun gitu bunuh diri,” sanggah temannya tak percaya.
“Mungkin aja,” ujar sang mahasiswi itu penuh semangat penuh kemenangan. “Kalau menyangkut masalah hati semua jadi bisa.”
“Maksudnya?”
“Dari yang gue dengar, dia itu bunuh diri,” ujarnya membuka cerita. Kedua temannya mendengarkan dengan serius. “pasalnya, pacar dari cewek yang dia suka meninggal gara-gara dia...”
Kedua orang temannya itu beberapa kali membelalakkan mata dan menutup mulut mereka seolah tak percaya akan apa yang mereka dengar.
Di luar semua itu, seorang gadis dengan rambut terurai panjang berdiri di puncak gedung. Angin pelan meniup rambutnya. Wajahnya yang pucat bersih tak dapat menutupi kecantikannya. Diperhatikannya orang-orang yang berada di bawahnya. Tampak sangat kecil olehnya.
“Seperti bidak catur. Hitam melawan putih. Ada kalanya kau memakan, ada kalanya kau dimakan. Seperti hidup,” bisiknya seolah bicara dengan angin yang dari tadi menemaninya. “Kalau ingin mempersingkat waktu permainan jadilah umpan.”
Dipandangnya langit berawan itu. Seolah dua wajah terukir penuh senyum di sana.
“Aku ingin cepat-cepat bertemu kalian. Karena itu, aku menjadi umpan saja...”
Wanita itu melepaskan dirinya, jatuh dari lantai tujuh universitas itu. Dipejamkannya matanya. Wajah Nanda dan Dion tergambar di sana.
BRUK!!!
Ketiga mahasiswi yang tadi membicarakan Dion spontan menjerit histeris. Seorang mahasiswi jatuh tepat di depan mereka. Darah menggelinang membanjiri wanita itu. Dia Wini...
Umpan selesai
Wini tak melepas pandangannya dari Nanda. Cowok pujaan sejak kelas dua SMP. Sudah tiga tahun dia menyembunyikan perasaannya.
Nanda mendrible bola dengan cepat melemparnya ke ring, kemudian...
BUKK!!
“Aduh!” rintih Wini sambil menggosok-gosok bokongnya yang terlempar benda bulat. Dia membalikkan badannya dan menemukan seburat senyum menyebalkan. “Dion! Loe tau gak sih kalo dilempar pake bola tuh sakit?”
“Eh, sorry. Gue kira tadi bokong cewek cantik dari mana? Gak taunya loe,” kilah Dion sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sorry ya.”
Wini tetap cemberut sambil menggosok bokongnya. “Sakit tau!!!”
“Ya sudah, sebagai permohonan maaf gue traktir bakso deh.”
“Kalo cuma satu mending gak usah,” Wini kembali membalikkan badannya.
“Loe ini ya, badan doang yang kecil. Makannya segudang.”
Dion pun langsung merangkul Wini dengan lengannya dan menyeretnya ke warung bakso dengan paksa.
“Pokoknya mesti pakek ice cream...” protes Wini.
“Cerewet banget.”
Wini. Gadis mungil yang sangat menyukai Nanda. Penampilannya tidak seperti umurnya. Seringkali kalau dia tidak pakai baju seragam dikirain anak SD. Pernah suatu ketika dia mau beli baju seragam saat pertamakali masuk SMA justru dikasih seragam anak SD. Tapi meski dengan postur dan wajah seperti anak-anak gitu dia cukup disukai banyak orang. Salah satunya Dion. Teman akrabnya sejak masih kecil. Dion juga nyaris sama dengan Wini. Babby face abis. Wajahnya juga manis banget, padahal dia cowok. Sangking manisnya dia pernah ditembak sama anak cowok kelas sebelah waktu baru pindah SD ke Bogor. Wajah manisnya itu mengundang anugerah dan petaka untuknya. Gara-gara wajahnya banyak cewek yang memujanya tapi karena wajahnya pula banyak cowok suka sirik dan mengusilinya sampai nangis. Karena itulah Dion bisa kenal dengan Wini. Cewek mungil tapi pemberani ini pernah menolongnya dari gangguan cowok-cowok sirik itu. Tapi itu dulu. Dion yang sekarang meskipun tetap manis dan babby face dia sudah gak cengeng lagi.
***
Siang ini Wini terpaksa pulang sendiri. Dion mesti latihan bola kaki sampai jam lima entar. Padahal biasanya Wini pulangnya diantar sama Dion. Soalnya rumah mereka sebelahan.
Wini menghempaskan dirinya terduduk di halte. Mencoba berlindung dari sengatan matahari sambil menunggu angkot lewat. Ketika peluh kian deras membanjiri Wini sebuah ninja orange hitam berhenti di depannya.
“Loe Wini kan?” ujar siempunya motor setelah melepas helmnya.
Wini terdiam terpana ketika melihat seraut wajah yang tadinya tertutup helm. “Nanda?”
“Loe Wini kan?!” tanya Nanda lagi dengan suara yang lebih keras.
“Eh, iya. Iya gue Wini,” jawab Wini sambil mengangguk-angguk.
“Mau gak jadi cewek gue?”
“What?” Wini terbelalak sangking kagetnya. Jantungnya berdebar sangat cepat sedangkan nafasnya terhenti. Rasanya hati ini mau meledak sangking senangnya. “Mau... mau banget...”
“Kalo gitu naik motor gue. Gue bakal jelasin aturan mainnya.”
Winipun menuruti perkataan Nanda tanpa banyak tanya. Ini seperti mimpi...
***
Ternyata bisa jadian beneran sama Nanda itu buat Wini benar-benar cuma mimpi. Yang dimaksud Nanda tadi siang dengan ‘jadi cewek gue’ itu adalah jadi pacar bohongannya.
Orangtua Nanda bakal pindah ke Jakarta karena pekerjaan ayahnya. Tapi bagi Nanda kota besar yang sesak seperti Jakarta bukanlah tempat yang cocok baginya untuk main basket. Makanya, dia butuh alasan untuk tetap tinggal di Bogor. Timbullah ide untuk cari pacar bohongan di benaknya. Dengan begitu orangtuanya gak bakal tega buat maksa Nanda ikutan pindah. Kebetulan sekali tadi siang cewek yang masih ada di dekat sekolah cuma Wini. Jadilah Wini pacar bohongan Nanda sejak tadi siang. Nandapun langsung memperkenalkan Wini pada orangtuanya. Mereka akan terus menjalankan hubungan palsu itu sampai orang tuanya Nanda gi dua minggu lagi.
“Gak pa-pa deh. Meski cuma pacar bohongan gue tetap senang kok. Disapa dia aja sudah merupakan keajaiban besar buat gue...” ujar Wini di sela lagunya melly feat krisdayanti, cinta.
***
“Wini, cepat dikit dunk! Bentar lagi jam tujuh nih,” panggil Dion pagi itu.
Winipun muncul. “Eh. Dion.”
“Yuk cabut!”
“Ng... kayaknya hari ini loe berangkat sendiri deh,” ujar Wini. Dion mengernyitkan alisnya.
“Emang kenapa?”
“Soalnya mulai pagi ini gue...”
“Wini.” Panggil Nanda yang baru saja muncul dengan ninjanya. “Berangkat sekarang yuk!”
Dion menatap Wini meminta penjelasan, tapi Wini tidak punya banyak waktu lagi.
“Dion, entar pasti gue jelasin. Udah dulu ya. Bye.”
Wini meninggalkan Dion yang hanya bisa bingung menyaksikan apa yang barusan terjadi.
“Nanda?” lirihnya.
Dionpun melaju dengan BMW silver kesayangannya.
***
“Loe dekat banget ya sama Dion,” ujar Nanda membuka pembicaraan selama perjalanan ke sekolah pagi itu.
“Ya iya lah. Dia kan sobat gue sejak kecil.”
“Sejak kecil?”
“Iya, kita teman sejak SD kelas 4. Sejak pertama kali nyampe Bogor.”
“O...” Nanda meng-o. “Aku pikir kalian pacaran.”
“Apa? Pacaran? Sama Dion? Gak mungkinlah. Dia tuh seleranya tinggi banget.”
“Oya?”
“Iya. Loe tau ndiri kalo dia tuh beken. Model kayak dia ngelirik gue buat jadi pacar? Ya gak mungkin banget. Lagian kita tuh udah kayak saudara. Dia tuh udah kayak abang sendiri.”
“Tapi loe kan baik. Buktinya mau nolongin gue buat jadi pacar bohongan,” ujar Nanda tak terduga.
Wajah Wini memerah karena malu. “Loe gak tau sih kalo gue banar-benar suka dan sayang banget sama loe,” batinnya.
“Tapi bagus deh kalo kalian gak pacaran. Entar bisa berabe lagi,” Nanda memelankan laju motornya. “Win, sorry banget ya, gue sudah ngerepotin loe. Habis gak ada jalanlain. Gue gak mau kalo mesti ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, gue butuh banget kerja sama loe. Baik itu di hadapan orangtua gue ataupun di sekolah. Asalkan kita lagi berdua gue harap loe mau berakting selayaknya pacar gue. Karena gue rasa orangtua gue rada gak percaya kalo kita pacaran. Mereka pasti manfaatin teman gue buat cari tahu kebenarannya,” Nanda menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kata-katanya. “Gue mohon banget sama loe Win, bantu gue ya!”
“Iya. Gue senang kok bisa nolong loe.”
Nanda kembali memacu ninjanya.
“Gue juga gak mau kalo loe mesti pindah ke Jakarta,” batin Wini pula sambil memeluk Nanda kenceng-kenceng. Soalnya Nanda sudah mulai ngebut lagi.
***
“Win! Wini!” panggil Dion usai sekolah hari itu. “Loe kemana aja sih? Kok sulit banget buat ditemuin? Loe mo main petak umpet ma gue? Ingat umur dong! Loe tuh sudah gede,” omel Dion panjang lebar.
“Sorry deh. Sorry.”
“Loe kok kayaknya happy banget?”
“Hehe. Gue baru jadian ma Nanda,” Wini berbohong. “Maaf ya. Gue baru ngasih tau sekarang. Soalnya...”
“Loe terlalu sibuk sama cowok loe gitu?”
“Hehe, iya.”
“Ya udah. Go sana! Sudah ditungguin sama cowok loe dari tadi tuh.”
Wini membalikkan badannya dan menemukan Nanada sedang menunggunya di atas motor dengan sabar.
“Bye Dion sayang...” ujar Wini centil kemudian berlari menuju Nanda.
“Cinta emang gak selalu memiliki ya...” bisik Dion pada dirinya sendiri.
***
Dion terus memandangi album foto yang berisikan fotonya berdua dengan Wini. Ada tujuh buah foto peniupan lilin ulang tahun. Ulang tahun yang dirayakannya bersama Wini.
“Sudah tujuh tahun gue suka sama loe Win,” Dion kembali membalik album foto itu. “Tapi ternyata gue benar-benar cuma teman kecil buat loe. Padahal gue selalu berusaha biar loe ngelirik gue.”
Dion menutup album foto itu. Mendekapnya hingga tertidur.
***
“Wini!” panggil Nanda pada istirahat siang itu.
“Eh, Nanda. Ada apa nih?” tanya Wini seranya menghampiri Nanda yang tetap bediri di pintu kelasnya.
“Orangtua gue. Mereka akhirnya ngebolehin gue tetap tinggal di Bogor,” ujar Nanda dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja memperolleh permen. “Ini semua berkat kamu, Win. Makasih banget ya.”
“Iya, sama-sama. Gue senang kok kalo lioe senang.”
“Ng... Win,” ujar Nanda setengah berbisik. “Gue sudah nyusun skenario buat loe mutusin gue.”
Wini terdiam. Sungguh cepat kebahagiaannya berlalu. Dua minggu berjal;an bagaikan sekejap mata. Ya... dia harus bisa menerima kenyataan ini. Kalu dia harus segera mengakhiri kepura-puraannya. Nanda tidak pernah menyukainya.
“Wini? Loe kok diam?”
“Eh? Gak pa-pa. Jadi gimana caranya?”
“Ceritanya entar waktu acara ulang tahun gue sekaligus perpisahan sama orangtua gue, gue terlalu sibuk sama undangan. Terus loe marah, nampar gue, lalu loe mutusin gue.”
“O... kapan?” tanya Wini nyaris tak terdengar.
“Dua hari lagi.”
“Ya...” ujar Wini. “Ng... gue ke dalam lagi ya. Ada yang mesti gue kerjain. Bye...” dengan cepat Wini membalik tubuhnya. Matanya nyaris mengeluarkan air mata di hadapan Nanda. Itu gak boleh terjadi.
***
“Dion!!” panggil Wini.
“Eh, Win. Tumben loe gak bareng Nanda?”
“Gue lagi males aja,” jawab Wini sambil duduk di motor Dion. Sebenarnya ini salah satu dari rencana. Maksudnya agar pertengkaran mereka nantinya ada hal yang mendukung. Makanya hari ini tidak pulang dengan Nanda.
“Oya, Dion. Besok loe pergi ke acaranya Nanda?”
“Wah! Gak tau juga nih, Win. Besok gue ada tanding bola.”
“Loh? Bukannya minggu depan?”
“Itu sih jadwal pemotretan gue.”
“Ya... jadi loe gak ikut nih?” tanya Wini menyesali.
“Mau gimana lagi,” Jawab Dion apa adanya.
Ada sedikit kecewa di wajah Wini. “Berarti saat gue patah hati nanti mesti gue lewati sendiri,” ujarnya dalam hati.
“Tapi tenang aja! Begitu tandingnya kelar gue pasti langsung nyusul ke acaranya Nanda.”
***
Seperti yang telah direncanakan. Wini pergi ke pesta ulang tahun nanda naik taxi. Sesampainya di pesta Nanda menatap Wini sebentar dari kejauhan kemudian menghampirinya. Gaun putih yang Wini kenakan tampak berkilau.
“Loe cantik, Win,” ujar Nanda. Wini tersipu mendengar perkataannya. “Oya! Entar jangan lupa ya!” bisiknya pada Wini pula. “Beraktinglah sebaik mungkin. Buat mereka percaya.”
Wini menarik senyum hambar pada bibirnya. “Hari ini semua kepura-puraan itu berakhir. Kebahagiaan yang kurasakan bersama Nanda akan lenyap setelah kata putus itu kuucapkan. Tapi apa aku sanggub melakukan semua itu? Aku sudah terlalu hanyut oleh perasaanku sendiri,” batin Wini.
“Kenapa, Win?” tanya Nanda yang heran melihat Wini terdiam.
“O... gak pa-pa,” ujar Wini kembali mencoba tersenyum. “Gih sana pergi! Entar gak keburu.”
“Baiklah,” ujar Nanda. “Lakukan sebaik-baiknya ya!” pesan Nanda kemudian pergi bergabung dengan teman-temannya.
Wini pun melangkah menuju meja dan mengambil jus melon kesukaannya. Tapi Wini sama sekali tidak meminumnya. Yang dia pikirkan hanyalah Nanda. Diperhatikannya wajah yang rada mirip Samuel Rizal itu. Beberapa saat lagi dia dan Nanda akan mengakhiri semua kepura-puraan yang selama ini mereka jalani.
“Seharusnya sejak awal gue sadar. Loe gak bakalan bisa gue miliki. Loe emang ada di dekat gue. Sama-sama gue. Tapi mestinya gue tau. Itu semua hanya sandiwara. Kepura-puraan. Cuma gue aja yang berdebar sendiri,” batin Wini. Nyaris butiran air matanya tumpah. Tapi sapaan dari teman sekelasnya membuatnya terpaksa menukir senyum.
Akting dan kepura-puraan. Entah sejak kapan sudah menjadi hal biasa bagi Wini. Sekarang dia dengan santai ngobrol dengan teman-temannya.
“Sebentar lagi...” batinnya. “Semua bakal berakhir.”
***
“Gue duluan ya!” seru Dion langsung kabur setelah berganti seragam dengan kaos oblong.
“Loh? Loe gak ikut ngerayain kemenangan kita?” tanya salah satu anggota timnya.
“Sorry friend. Gue ada acara. Gue ikut happy-nya aja ya,” ujar Dion berbalik sesaat kemudian benar-benar kabur ke BMW-nya tercinta.
“Moga masih keburu ke acaranya Nanda,” bisiknya kemudian buru-buru melaju ke tempat acaranya Nanda.
***
“Kamu kenapa sih? Tiba-tiba aja marah gak jelas. Memang aku salah apa?” Nanda menarik tangan wini.
“Pikir aja sendiri! Kamu kira enak dicuekin selama dua jam?” balas Wini sambil mencoba melepaskan cengkraman Nanda.
“Ya, tapi aku kan gak tau kalau kamu gak suka. Dan dari tadi aku perhatiin kamu ok-ok aja ngumpul bareng yang lain.”
“Alasan. Pokoknya aku gak suka,” Wini kembali mencoba melepaskan cengkraman Nanda. Nanda melonggarkan cengkramannya hingga Wini terbebas.
“Cepat bilang putus!” isyarat Nanda ketika Wini hanya terdiam meski Nanda telah melepasnya.
“Win...” ujar Nanda.
Wini terus menunduk. Nanda kontan bingung.
“Win? Loe kenapa?” diangkatnya wajah Wini.
Wajah itu basah oleh air mata.
“Win, loe kok nangis?”
Semua yang tadi hanya terdiam melihat mereka yang tiba-tiba ribut kini mulai gaduh. Nanda segera memeluk Wini.
“Win, ini gak ada dalam skenario kan? Loe mau improv ya?” bisik Nanda. Wini justru terisak lebih kencang lagi.
“Maaf Nand, gue terlalu suka sama loe. Gue gak sanggub buat nyelesain semua ini. Gue pingin terus sama-sama loe. Gue egois ya...” batin Wini.
Wini melepas pelukan Nanda. Dengan masih terisak dia mencoba bicara.
“Maafin gue ya, Nand. Gue gak bisa.”
“Tanpa menunggu respon Nanda Wini pergi meninggalkan acara itu.
Nanda terdiam sejenak hingga akhirnya mengerti. Semua sudah terlalu jauh. Dan dia sadar, ada perasaan yang tumbuh diantara mereka tanpa dia sadari. Kini perasaan itu menyakiti Wini.
Saat tersadar Nanda langsung mengejar Wini.
“Win, tunggu gue! Gue ngerti! Please tunggu gue!”
Seolah tak mendengar Wini mempercepat langkahnya.
Malam itu tidak ada bulan. Hanya lampu jalan yang redup dan lampu kendaraan. Itulah penerang malam saat itu. Namun ternyata itu saja tidak cukup. Ketika hendak menyebrang jalan saat mengejar Wini, sebuah mobil melintas.
Terlalu cepat hingga Wini tak sempat melihat wajah Nanda untuk terakhir kalinya.
Wini berbalik. Menuju Nanda yang kini berlumur darah.
“Nanda! Nanda!” panggil Wini sambil memeluk tubuh yang kini tak bernyawa. “Nanda...”
“Wini...” lirih suara itu terdengar.
Wini mengangkat wajahnya. “Dion?”
Seketika Wini merasa tak ingin menyadari, Wini menolehkan pandangannya. BMW silver berada tepat di sampingnya.
“Gak...”
***
Dua minggu sejak Wini tak sanggub menyelesaikan sandiwaranya. Nanda menyadari semua yang telah terjadi. Dion melaju dan kecelakaan itu terjadi. Tak satupun dari mereka yang menginginkan hal itu. Tapi takdir berkata lain.
Kecelakaan itu merenggut nyawa Nanda. Menghapus keceriaan Wini. Dan menanam rasa bersalah pada Dion.
Ya... mobil yang dikendarai Dion menabrak Nanda. Tapi orangtua Nanda tidak menuntut Dion. Entah mengapa mereka sama sekali tidak mempersalahkan Dion. Seolah semua itu terjadi tanpa sebab. Tapi justru karena itu, Dion benar-benar merasa bersalah. Berkali-kali dia menemui orangtua Nanda. Tapii tak sedikitpun tampak kebencian pada mereka terhadap Dion.
”Semua ini kecelakaan. Tak satupun dari kita yang menginginkan,” kata itu selalu diucapkan oleh orangtua Nanda saat Dion menemui mereka. Sangat tulus terdengar. Membuat sesal itu semakin perih. “Itu takdir yang telah di tetapkan.”
Perih itu menjadi lebih membiru karena Wini terus menyalahkan dirinya sendiri. Seperti hari ini ketika Dion menemuinya.
“Coba gue selesaikan semua itu. Pasti Nanda gak ngejar gue. Pasti semua gak terjadi. Gue bodoh ya, Di. Seenaknya aja memaksakan kehendak gue.”
“Maafin gue, Win. Seandainya gue gak ngebut pasti...”
“Loe ngebut karena mau cepat-cepat ke acara itu kan? Gue yang salah. Maksa loe datang. Padahal loe sibuk.”
“Loe gak maksa gue, Win.”
“Loe selalu memenuhu apa yang gue mau. Gue egois...”
Dion memacu motornya melewati jalan yang licin itu. Rintk hujan menusuk wajahnya yang tak berhelm. Sesal itu telah mencapai ambang batasnya. Membawanya jauh dari sadar.
Gerimis mulai beralih menjadi hujan. Kian deras. Kian melicinkan jalan penuh tikungan yang dilaluinya.
Tanpa ia sadari air matanya telah bercampur dengan hujan yang menikamnya.
Sejak hari itu tak ada hal baik yang mebghampirinya. Tak satupun yang menyalahkannya. Tapi justru itulah yang menyakitkan.
Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dia sama sekali tak menghiraukan tikungan di depannya. Dion justu memacu motornya lebih kencang.
Pagar pembatas tikungan itu hancur dihantam motor yang Dion kendarai. Dia jatuh cukup tinggi. Memberi waktu yang cukup untuknya mengenang semua kebahagiaannya bersama Wini.
“Maaf...”
Itulah kata terakhir yang Dion ucapkan. Sedetik sebelum tubuhnya membentur bebatuan itu.
Dion tak sempat merasakan sakit itu. Karena sebelum darah membasahinya semua terlanjur gelap. Hening. Hampa. Dingin...
Sore itu, sekilas rintik hujan tak lagi putih bening.
***
“Eh, kalian masih ingat Dion?” bisik seorang mahasiswi pada teman-temannya.
“Dion yang mana?” tanya salah seorang temannya.
“Itu loh, Dion Yudha Maulana,” ujar sang Mahasiswi tadi.
“O.. Dion yang model sekaligus atlet bola kaki itu?”
Sang mahasiswipun mengangguk mengiyakan.
“Memang kenapa? Dia kan sudah meninggal tiga tahun lalu.”
“Iya nih. Ngapain juga ngomongin orang yang sudah gak ada,” ujar temannya yang dari tadi mencoba cuek, tapi tetap tidak bisa.
“Justru itu. Meninggalnya itu loh yang aneh,” ujar mahasiswi itu.
“Aneh apanya? Dia kecelakaan. Jatuh ke jurang gara-gara nabrak pagar pembatas.”
“Trus dari hasil autopsi dia gak lagi mabuk, dia juga gak make narkoba. Gak ada skandal atas kematiannya. Apanya yang aneh?”
“Justru itu. Gak ada alasan buat dia kecelakaan. Dia gak gila, gak make narkoba ataupun mabuk. Aneh kan?”
“Lantas apa? Dia dibunuh gitu?”
“Gak, bukan dibunuh, tapi bunuh diri,” jawabnya tegas.
“Eh?!” seru kedua temannya bingung.
“Gak mungkin orang lagi naik daun gitu bunuh diri,” sanggah temannya tak percaya.
“Mungkin aja,” ujar sang mahasiswi itu penuh semangat penuh kemenangan. “Kalau menyangkut masalah hati semua jadi bisa.”
“Maksudnya?”
“Dari yang gue dengar, dia itu bunuh diri,” ujarnya membuka cerita. Kedua temannya mendengarkan dengan serius. “pasalnya, pacar dari cewek yang dia suka meninggal gara-gara dia...”
Kedua orang temannya itu beberapa kali membelalakkan mata dan menutup mulut mereka seolah tak percaya akan apa yang mereka dengar.
Di luar semua itu, seorang gadis dengan rambut terurai panjang berdiri di puncak gedung. Angin pelan meniup rambutnya. Wajahnya yang pucat bersih tak dapat menutupi kecantikannya. Diperhatikannya orang-orang yang berada di bawahnya. Tampak sangat kecil olehnya.
“Seperti bidak catur. Hitam melawan putih. Ada kalanya kau memakan, ada kalanya kau dimakan. Seperti hidup,” bisiknya seolah bicara dengan angin yang dari tadi menemaninya. “Kalau ingin mempersingkat waktu permainan jadilah umpan.”
Dipandangnya langit berawan itu. Seolah dua wajah terukir penuh senyum di sana.
“Aku ingin cepat-cepat bertemu kalian. Karena itu, aku menjadi umpan saja...”
Wanita itu melepaskan dirinya, jatuh dari lantai tujuh universitas itu. Dipejamkannya matanya. Wajah Nanda dan Dion tergambar di sana.
BRUK!!!
Ketiga mahasiswi yang tadi membicarakan Dion spontan menjerit histeris. Seorang mahasiswi jatuh tepat di depan mereka. Darah menggelinang membanjiri wanita itu. Dia Wini...
Umpan selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar