Kamis, 09 Oktober 2008

Teruntuk Sebuah Nama

Kala mata ini terpejam

Bayangmu melintas

Menari dan berputar di kepalaku

Tersenyum dan tertawa untukku

Ketika ku buka mata ini

Yang ada hanya kosong

Semua hampa tanpa arti

Semua terlanjur imajinasi

Membuatku sungguh kesal

Namun ku tersadar

Kau terlalu tinggi tuk ku raih

Kau terlalu mahal tuk ku miliki

Biarlah semua ini sebatas pejaman mata

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli yang buta

Aku melipat kembali surat berisi puisi yang ku dapat di dalam laciku. Surat abu-abu itu terbungkus rapi di dalam amplop. Tanpa nama pengirim.

“Dari siapa?” tanya Andi sambil merebut surat abu-abu itu dari tanganku tanpa perduli apakah aku mengizinkan dia untuk membacanya.

“Jangan iseng deh, Ndi!” seruku.

“Tenang aja! Aku cuma mau baca kok,” ujar Andi sambil membuka lipatan surat itu. Sesaat kemudian wajahnya berubah mengesalkan. Aku yakin beberapa detik lagi tawanya akan meledak. Seharusnya aku sadar. Membiarkannya membaca surat itu sama saja dengan mengundang neraka...

“Oh... teruntuk sebuah nama, akulah sang bisu tuli yang buta...” ujarnya sambil berpose seperti pangeran yang mengatakan cintanya pada putri salju.

“Weks! Kau membuatku mau muntah,” seruku sambil merebut kembali surat itu.

“Ha.. ha.. ha.. jangan begitu! Ini pose terbaikku,” sanggahnya sambil terus tertawa. “Tapi ngomong-ngomong siapa tuh sang bisu tuli yang buta?”

“Mana aku tau, emangnya aku dukun apa?”

“Ya juga sih,” ujarnya. “Tapi kalau gak salah kamu pernah mengalami hal yang sama tahun lalu kan?"

“Maksud kamu tindakan bodoh dari Nia dan teman-temannya itu?” tanyaku. Andi mengangguk pelan.

“Waktu itu dia ngirimin kamu surat berisi puisi berkali-kali. Trus seminggu kemudian dia nembak kamu, trus...”

“Trus besoknya dia mutusin aku. Katanya dia ngerasa kalau aku ini ngebosanin dan gak asik,” potongku cepat. Kalau ingat kejadian itu rasanya aku ingin kesal terus.

Nia gadis yang cantik. Dia idola di sekolah. Bagaikan mimpi rasanya dia mendekati bahkan nembak aku. Tapi ternyata itu semua hanyalah bagian dari permainannya saja. Semua tak lebih dari sandiwara. Itulah yang membuatku kesal.

“Kalau ini perbuatan mereka, aku gak bakal mau terjebak untuk kedua kalinya...”

***

Hari ini lagi-lagi aku memperoleh puisi di laci mejaku. Dengan warna surat yang sama.

Mata ini tak dapat terpejam

Ada kerinduan yang menyingkapi segalanya

Ada satu hal yang belum bisa aku katakan

Andai semua ini nyata

Izinkana aku menyayangimu

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli dan buta

“Surat lagi nih?” tanya Andi. “Kamu sudah tahu siapa sang bisu tuli yang buta itu? Apa benar dia Nia?”

“Gak tau deh. Aku cuma berharap ini bukan ulah cewek iseng,” jawabku sambil menggigit roti yang sudah dari tadi berada di tanganku.

“Ooo... jadi kamu benar-benar berharap kalau cewek itu serius suka sama kamu?” tanya Andi membuatku terdiam. “Apa kamu jadi menyukai sang bisu tuli yang buta itu?”

“Maksud kamu?”

“Hanya dengan kata-kata dalam surat-suratnya itu kamu jadi menyukainya,” ujar Andi memperjelas.

“Gak tau deh. Aku hanya gak mau dijadikan sasaran lagi oleh cewek iseng,” jawabku. Tapi sebenarnya aku bingung. Apa mungkin yang Andi katakan benar? Apa mungkin aku jadi menyukai ceewek yang mengirim surat itu? Tapi bagaimana kalau cewek itu Nia? Orang yang pernah menyakitiku.. Aku harap ini semua bisa jadi jelas.

***

“Puisi yang ketiga nih...!” seru Andi sambil menepuk bahuku. Tiba-tiba Andi membalik badannya dan berjalan menuju mejanya. “Laciku kok kosong ya? Curang nih, kamu terus yang dapat surat,” ujar Andi sambil mengacak-acak isi lacinya.

“Jangan ngeledek deh!”

Tiba-tiba seseorang merebut itu dari tanganku.

“Wah! Lihat deh teman-teman! Rey dapat surat,” ujar orang itu yang tak lain adalah Nia. “Kira-kira isinya apa ya?” Nia lari ke depan kelas dan membaca surat itu.

“Nia, kembalikan padaku!” seruku padanya.

“Wow! Romantis banget,” serunya. “Isinya puisi. Aku bacain ya!”

“Nia! Jangan iseng deh!” seruku lagi dengan suara yang lebih keras.

Tapi sepertinya Nia tidak perduli. Dia justru membacakan puisi itu keras-keras.

Saat hatimu merasuk jiwaku

Tak pernah lagi ada curiga

Cukup cinta yang ku minta

Dan takkan pernah ada cinta yang lain

Ku berikan semua cinta tanpa rasa ragu

Ku hadirkan semua rasa yang terindah di jiwa hanya untukmu

Meski bulan tak lagi berhembus

Hatiku akan untukmu selalu

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli yang buta

“Wah! Penggemar rahasiamu ini romantis banget...” ujar Nia sambil terus memperolokku. “Ternyata setelah putus dari aku kamu jadi laku.”

Seisi kelas jadi ribut. Mereka menertawkan aku. Itu membuatku sungguh kesal.emosiku sudah sampai ke titik batas.

“SUDAH! DIAM!” teriakku. “Kalian benar-benar menjengkelkan. Dan kau Nia, apa kau merasa senang menggangguku seperti ini? Apa kau merasa hebat menggangguku seperti ini? Kamu ini benar-benar tidak punya perasaan. Aku tidak akan mengikuti permainanmu lagi. Aku minta hentikan semua ini. Surat-surat itu membuatku muak.”

Seisi kelas jadi hening. Bakan Nia yang tadi memperolokkupun terdiam. Kenapa jadi begini? Apa kata-kataku keterlaluan? Aku hanya ingin Nia berhenti menggangguku.

“Rey,” ujar Andi yang dari tadi berada di belakangku. “Kamu hebat.”

“Aku mau keluar. Aku butuh udara segar,” aku meninggalkan kelas hening itu. Hari ini sangat buruk bagiku.

***

Sudah dua hari sejak kejadian aku mengamuk di kelas. Sudah dua hari pula surat-surat itu meninggalkanku.

“Sang bisu tuli yang buta itu mungkin cuma orang iseng ya,” ujarku pada Andi seolah sedang mengeluh. “Mungkin dia sudah bosan.”

“Kok gitu? Mungkin saja dia benar-benar menyukaimu?” ujar Andi berhenti menulis salinan prku kemudian menatapku.

“Ada apa? Kenapa menatapku begitu?” tanyaku bingung.

“Aku hanya berpikir kalau sekarang kau sudah benar-benar menyukai ­sang bisu tuli yang buta itu.”

“Sudah ah! Aku gak mau pusing memikirkan itu.”

“Aku kasih tau ya, Rey. Kalau aku jadi kamu aku pasti cari tau siapa sang bisu tuli yang buta itu. Karena bukan hal yang mudah untuk membuat dan memberikan puisi kepada orang yang kita sukai. Meskipun secara diam-diam.”

Kalau dia menyukaiku, mengapa dia berhenti mengirimiku surat? Pikirku.

***

“Kangen sama suratnya sang bisu tuli yang buta ya?” goda Andi membuyarkan semua isi otakku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku suka memandang ke laciku. Berharap akan ada surat abu-abu di dalamnya.

“Berisik!!” seruku sambil melemparnya dengan buku yang dari tadi tak selesai kubaca. “Balik ke mejamu sana!”

“Jangan galak gitu dong! Lagian teman sebangkumu ini kan belum datang. Boleh dunk aku duduk lebih lama di sini.”

“Siapa bilang? Dia sudah datang tuh,” ujarku sambil menunjuk ke arah Ana yang baru saja muncul si pintu kelas. Sudah beberapa hari ini dia kalah balapan dengan bel masuk.

***

“Mesti buru-buru nih. Semua sudah pada pulang,” bisikku pada diri sendiri sambil terus mempercepat langkahku menuju kelas. Ini semua karena nilaiku anjlok. Aku jadi harus berurusan dengan guru BP. Sampai-sampai harus pulang paling akhir seperti ini.

Sesampainya di kelas aku tak melihat seorangpun di sana. Bahkan Andi yang biasanya setia menungguikupun sudah pulang. Yang tersida hanyalah tas milikku dan...

“Buku siapa nih?” aku membaca nama yang tertera pada buku itu. “Ana? Ini buku Ana ya? Kalau tidak salah tadi dia masih ada di gerbang. Apa aku antarin aja kali ya?”

Saat buku itu ku angkat berlembar-lembar kertas abu-abu bertebaran dari lipatan buku itu. Aku langsung teringat pada surat abu-abu yang kuterima selama ini..

“Apa mungkin sang bisu tuli yang buta itu adalah...”

“Rey?!”

Aku berhenti membaca lembaran abu-abu itu. Ana menatapku. Dia berdiri kaku di pintu kelas. Wajahnya benar-benar pucat. Terlihat sangat cemas.

“Maaf,” ujarku lirih. Aku jadi tidak enak sendiri melihat ekspresinya yang benar-benar terkejut. “Aku tidak bermaksud lancang. Tadinya aku mau membawakan buku ini untukmu, tapi kertas-ketas itu jatuh dan aku...”

“Apa kamu sudah membaca semuanya?” tanyanya dengan suara bergetar.

Aku hanya diam tak menjawab. Aku melihat bahunya berguncang. Wajahnya seakan mau menangis. Hal itu membuatku merasa tambah bersalah. Seketika air matanya tumpah. Dia berbalik dan berlari meninggalkanku.

“Ana! Aku benar-benar...” aku berlari mengejarnya.

“Ana, maaf kalau aku salah,” pintaku saat berhasil mendapatkan tangannya dan menghentikannya. “Aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”

Sejenak waktu berlalu dengan hening. Ana hanya diam dan aku tidak tau harus berkata apa.

“Ana, aku...”

“Maaf,” ujarnya tiba-tiba. “Akulah yang mengirimi surat-surat itu.”

Ana menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah ingin menyembunyikannya dariku.

“Kamu boleh marah kok. Tapi sungguh. Aku tidak bermaksud mengganggumu dengan surat-surat itu. Aku benar-benar tidak tahu kalau surat-surat itu membuatmu muak. Aku benar-benar minta maaf.”

“Jadi, karena itu kamu berhenti mengirimiku surat? Karena itu kamu menyimpan surat-surat itu untuk dirimu sendiri?”

Ana tak menjawab. Dia masih terus menyembunyikan wajahnya.

“Maaf. Waktu itu aku tidak bermaksud menyakitimu. Waktu itu aku hanya kesal karena Nia memperolok aku dengan surat itu. Awalnya kupikir surat-surat itu dari dia. Tapi kemudian aku sadar. Gadis angkuh dan manja seperti Nia tidak mungkin mempunyai perasaan tulus dan hangat seperti kata-kata yang tertulis pada surat itu. Dia bukanlah sang bisu tuli dan buta-ku,” aku menarik napas dalam-dalam kemudian akupun melanjutkan kata-kataku. “Entah sejak kapan aku jadi menunggu surat itu datang. Aku merindukannya. Tapi surat itu kini tlah terhenti. Kupikir sang bisu tuli dan buta sudah tidak menyukaiku lagi.”

“Itu tidak mungkin Rey,” Ana mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatapku.

“Sekarang sang bisu tuli yang buta tidak lagi bisu, tidak lagi tuli dan tidak lagi buta. Sekarang dia sudah bisa bicara, mendengar dan melihat sebuah nama yang ada di hadapannya...”

“Rey...”

“Sekarang diam dan dengarkan aku! Setelah itu baru bicara,” pintaku. “Dulu sang bisu tuli yang buta menyayangi sebuah nama dengan hatinya. Sekarang dia sudah dapat melihat sebuah nama dengan matanya. Apa sang bisu tuli yang buta akan tetap menyayangi sebuah nama sepeti dulu?”

“Masih...” jawab Ana. “Bahkan rasa sayang itu tumbuh semakin besar. Sang bisu tuli yang buta hanya bisa bicara, mendengar dan melihat sebuah nama. Kaena kini perasaannya telah tersampaikan.”

“Begitu pula dengan sebuah nama. Ia merasa lega karena sang bisu tuli yang buta tulus menyayanginya...”

Andi benar. Hanya dengan ketulusan yang tersirat dalam surat-suratnya aku jadi terus memikirkannya. Tanpa sadar rasa sayang ini tumbuh membuahkan suatu perasaan yang sulit untuk kumengerti. Tapi aku suka itu...

Bayangan ini seperti mengikuti kemana saja aku melangkah

Hingga hati terpengaruh pikiran

Diri ini hanya bisa meratap

Apa yang kurasa

Ntah apa yang terjadi

Membuat kepasrahan timbul

Apa mungkin ini terkabul

...

Siapa gerangan dirinya?

Menerobos gelapnya dinding hati

Tercipta sebuah prolog

Ternyata cinta yang bisa menguatkana aku masih di sini


Teruntuk Sebuah Nama selesai

Tidak ada komentar: