Kamis, 09 Oktober 2008

Umpan

“Aku terus menatapnya. Mengagumi anugerah Tuhan pada dirinya. Memuja namanya dan mengharapkan sapaannya...”

Wini tak melepas pandangannya dari Nanda. Cowok pujaan sejak kelas dua SMP. Sudah tiga tahun dia menyembunyikan perasaannya.

Nanda mendrible bola dengan cepat melemparnya ke ring, kemudian...

BUKK!!

“Aduh!” rintih Wini sambil menggosok-gosok bokongnya yang terlempar benda bulat. Dia membalikkan badannya dan menemukan seburat senyum menyebalkan. “Dion! Loe tau gak sih kalo dilempar pake bola tuh sakit?”

“Eh, sorry. Gue kira tadi bokong cewek cantik dari mana? Gak taunya loe,” kilah Dion sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sorry ya.”

Wini tetap cemberut sambil menggosok bokongnya. “Sakit tau!!!”

“Ya sudah, sebagai permohonan maaf gue traktir bakso deh.”

“Kalo cuma satu mending gak usah,” Wini kembali membalikkan badannya.

“Loe ini ya, badan doang yang kecil. Makannya segudang.”

Dion pun langsung merangkul Wini dengan lengannya dan menyeretnya ke warung bakso dengan paksa.

“Pokoknya mesti pakek ice cream...” protes Wini.

“Cerewet banget.”

Wini. Gadis mungil yang sangat menyukai Nanda. Penampilannya tidak seperti umurnya. Seringkali kalau dia tidak pakai baju seragam dikirain anak SD. Pernah suatu ketika dia mau beli baju seragam saat pertamakali masuk SMA justru dikasih seragam anak SD. Tapi meski dengan postur dan wajah seperti anak-anak gitu dia cukup disukai banyak orang. Salah satunya Dion. Teman akrabnya sejak masih kecil. Dion juga nyaris sama dengan Wini. Babby face abis. Wajahnya juga manis banget, padahal dia cowok. Sangking manisnya dia pernah ditembak sama anak cowok kelas sebelah waktu baru pindah SD ke Bogor. Wajah manisnya itu mengundang anugerah dan petaka untuknya. Gara-gara wajahnya banyak cewek yang memujanya tapi karena wajahnya pula banyak cowok suka sirik dan mengusilinya sampai nangis. Karena itulah Dion bisa kenal dengan Wini. Cewek mungil tapi pemberani ini pernah menolongnya dari gangguan cowok-cowok sirik itu. Tapi itu dulu. Dion yang sekarang meskipun tetap manis dan babby face dia sudah gak cengeng lagi.

***

Siang ini Wini terpaksa pulang sendiri. Dion mesti latihan bola kaki sampai jam lima entar. Padahal biasanya Wini pulangnya diantar sama Dion. Soalnya rumah mereka sebelahan.

Wini menghempaskan dirinya terduduk di halte. Mencoba berlindung dari sengatan matahari sambil menunggu angkot lewat. Ketika peluh kian deras membanjiri Wini sebuah ninja orange hitam berhenti di depannya.

“Loe Wini kan?” ujar siempunya motor setelah melepas helmnya.

Wini terdiam terpana ketika melihat seraut wajah yang tadinya tertutup helm. “Nanda?”

“Loe Wini kan?!” tanya Nanda lagi dengan suara yang lebih keras.

“Eh, iya. Iya gue Wini,” jawab Wini sambil mengangguk-angguk.

“Mau gak jadi cewek gue?”

“What?” Wini terbelalak sangking kagetnya. Jantungnya berdebar sangat cepat sedangkan nafasnya terhenti. Rasanya hati ini mau meledak sangking senangnya. “Mau... mau banget...”

“Kalo gitu naik motor gue. Gue bakal jelasin aturan mainnya.”

Winipun menuruti perkataan Nanda tanpa banyak tanya. Ini seperti mimpi...

***

Ternyata bisa jadian beneran sama Nanda itu buat Wini benar-benar cuma mimpi. Yang dimaksud Nanda tadi siang dengan ‘jadi cewek gue’ itu adalah jadi pacar bohongannya.

Orangtua Nanda bakal pindah ke Jakarta karena pekerjaan ayahnya. Tapi bagi Nanda kota besar yang sesak seperti Jakarta bukanlah tempat yang cocok baginya untuk main basket. Makanya, dia butuh alasan untuk tetap tinggal di Bogor. Timbullah ide untuk cari pacar bohongan di benaknya. Dengan begitu orangtuanya gak bakal tega buat maksa Nanda ikutan pindah. Kebetulan sekali tadi siang cewek yang masih ada di dekat sekolah cuma Wini. Jadilah Wini pacar bohongan Nanda sejak tadi siang. Nandapun langsung memperkenalkan Wini pada orangtuanya. Mereka akan terus menjalankan hubungan palsu itu sampai orang tuanya Nanda gi dua minggu lagi.

“Gak pa-pa deh. Meski cuma pacar bohongan gue tetap senang kok. Disapa dia aja sudah merupakan keajaiban besar buat gue...” ujar Wini di sela lagunya melly feat krisdayanti, cinta.

***

“Wini, cepat dikit dunk! Bentar lagi jam tujuh nih,” panggil Dion pagi itu.

Winipun muncul. “Eh. Dion.”

“Yuk cabut!”

“Ng... kayaknya hari ini loe berangkat sendiri deh,” ujar Wini. Dion mengernyitkan alisnya.

“Emang kenapa?”

“Soalnya mulai pagi ini gue...”

“Wini.” Panggil Nanda yang baru saja muncul dengan ninjanya. “Berangkat sekarang yuk!”

Dion menatap Wini meminta penjelasan, tapi Wini tidak punya banyak waktu lagi.

“Dion, entar pasti gue jelasin. Udah dulu ya. Bye.”

Wini meninggalkan Dion yang hanya bisa bingung menyaksikan apa yang barusan terjadi.

“Nanda?” lirihnya.

Dionpun melaju dengan BMW silver kesayangannya.

***

“Loe dekat banget ya sama Dion,” ujar Nanda membuka pembicaraan selama perjalanan ke sekolah pagi itu.

“Ya iya lah. Dia kan sobat gue sejak kecil.”

“Sejak kecil?”

“Iya, kita teman sejak SD kelas 4. Sejak pertama kali nyampe Bogor.”

“O...” Nanda meng-o. “Aku pikir kalian pacaran.”

“Apa? Pacaran? Sama Dion? Gak mungkinlah. Dia tuh seleranya tinggi banget.”

“Oya?”

“Iya. Loe tau ndiri kalo dia tuh beken. Model kayak dia ngelirik gue buat jadi pacar? Ya gak mungkin banget. Lagian kita tuh udah kayak saudara. Dia tuh udah kayak abang sendiri.”

“Tapi loe kan baik. Buktinya mau nolongin gue buat jadi pacar bohongan,” ujar Nanda tak terduga.

Wajah Wini memerah karena malu. “Loe gak tau sih kalo gue banar-benar suka dan sayang banget sama loe,” batinnya.

“Tapi bagus deh kalo kalian gak pacaran. Entar bisa berabe lagi,” Nanda memelankan laju motornya. “Win, sorry banget ya, gue sudah ngerepotin loe. Habis gak ada jalanlain. Gue gak mau kalo mesti ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, gue butuh banget kerja sama loe. Baik itu di hadapan orangtua gue ataupun di sekolah. Asalkan kita lagi berdua gue harap loe mau berakting selayaknya pacar gue. Karena gue rasa orangtua gue rada gak percaya kalo kita pacaran. Mereka pasti manfaatin teman gue buat cari tahu kebenarannya,” Nanda menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kata-katanya. “Gue mohon banget sama loe Win, bantu gue ya!”

“Iya. Gue senang kok bisa nolong loe.”

Nanda kembali memacu ninjanya.

“Gue juga gak mau kalo loe mesti pindah ke Jakarta,” batin Wini pula sambil memeluk Nanda kenceng-kenceng. Soalnya Nanda sudah mulai ngebut lagi.

***

“Win! Wini!” panggil Dion usai sekolah hari itu. “Loe kemana aja sih? Kok sulit banget buat ditemuin? Loe mo main petak umpet ma gue? Ingat umur dong! Loe tuh sudah gede,” omel Dion panjang lebar.

“Sorry deh. Sorry.”

“Loe kok kayaknya happy banget?”

“Hehe. Gue baru jadian ma Nanda,” Wini berbohong. “Maaf ya. Gue baru ngasih tau sekarang. Soalnya...”

“Loe terlalu sibuk sama cowok loe gitu?”

“Hehe, iya.”

“Ya udah. Go sana! Sudah ditungguin sama cowok loe dari tadi tuh.”

Wini membalikkan badannya dan menemukan Nanada sedang menunggunya di atas motor dengan sabar.

“Bye Dion sayang...” ujar Wini centil kemudian berlari menuju Nanda.

“Cinta emang gak selalu memiliki ya...” bisik Dion pada dirinya sendiri.

***

Dion terus memandangi album foto yang berisikan fotonya berdua dengan Wini. Ada tujuh buah foto peniupan lilin ulang tahun. Ulang tahun yang dirayakannya bersama Wini.

“Sudah tujuh tahun gue suka sama loe Win,” Dion kembali membalik album foto itu. “Tapi ternyata gue benar-benar cuma teman kecil buat loe. Padahal gue selalu berusaha biar loe ngelirik gue.”

Dion menutup album foto itu. Mendekapnya hingga tertidur.

***

“Wini!” panggil Nanda pada istirahat siang itu.

“Eh, Nanda. Ada apa nih?” tanya Wini seranya menghampiri Nanda yang tetap bediri di pintu kelasnya.

“Orangtua gue. Mereka akhirnya ngebolehin gue tetap tinggal di Bogor,” ujar Nanda dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja memperolleh permen. “Ini semua berkat kamu, Win. Makasih banget ya.”

“Iya, sama-sama. Gue senang kok kalo lioe senang.”

“Ng... Win,” ujar Nanda setengah berbisik. “Gue sudah nyusun skenario buat loe mutusin gue.”

Wini terdiam. Sungguh cepat kebahagiaannya berlalu. Dua minggu berjal;an bagaikan sekejap mata. Ya... dia harus bisa menerima kenyataan ini. Kalu dia harus segera mengakhiri kepura-puraannya. Nanda tidak pernah menyukainya.

“Wini? Loe kok diam?”

“Eh? Gak pa-pa. Jadi gimana caranya?”

“Ceritanya entar waktu acara ulang tahun gue sekaligus perpisahan sama orangtua gue, gue terlalu sibuk sama undangan. Terus loe marah, nampar gue, lalu loe mutusin gue.”

“O... kapan?” tanya Wini nyaris tak terdengar.

“Dua hari lagi.”

“Ya...” ujar Wini. “Ng... gue ke dalam lagi ya. Ada yang mesti gue kerjain. Bye...” dengan cepat Wini membalik tubuhnya. Matanya nyaris mengeluarkan air mata di hadapan Nanda. Itu gak boleh terjadi.

***

“Dion!!” panggil Wini.

“Eh, Win. Tumben loe gak bareng Nanda?”

“Gue lagi males aja,” jawab Wini sambil duduk di motor Dion. Sebenarnya ini salah satu dari rencana. Maksudnya agar pertengkaran mereka nantinya ada hal yang mendukung. Makanya hari ini tidak pulang dengan Nanda.

“Oya, Dion. Besok loe pergi ke acaranya Nanda?”

“Wah! Gak tau juga nih, Win. Besok gue ada tanding bola.”

“Loh? Bukannya minggu depan?”

“Itu sih jadwal pemotretan gue.”

“Ya... jadi loe gak ikut nih?” tanya Wini menyesali.

“Mau gimana lagi,” Jawab Dion apa adanya.

Ada sedikit kecewa di wajah Wini. “Berarti saat gue patah hati nanti mesti gue lewati sendiri,” ujarnya dalam hati.

“Tapi tenang aja! Begitu tandingnya kelar gue pasti langsung nyusul ke acaranya Nanda.”

***

Seperti yang telah direncanakan. Wini pergi ke pesta ulang tahun nanda naik taxi. Sesampainya di pesta Nanda menatap Wini sebentar dari kejauhan kemudian menghampirinya. Gaun putih yang Wini kenakan tampak berkilau.

“Loe cantik, Win,” ujar Nanda. Wini tersipu mendengar perkataannya. “Oya! Entar jangan lupa ya!” bisiknya pada Wini pula. “Beraktinglah sebaik mungkin. Buat mereka percaya.”

Wini menarik senyum hambar pada bibirnya. “Hari ini semua kepura-puraan itu berakhir. Kebahagiaan yang kurasakan bersama Nanda akan lenyap setelah kata putus itu kuucapkan. Tapi apa aku sanggub melakukan semua itu? Aku sudah terlalu hanyut oleh perasaanku sendiri,” batin Wini.

“Kenapa, Win?” tanya Nanda yang heran melihat Wini terdiam.

“O... gak pa-pa,” ujar Wini kembali mencoba tersenyum. “Gih sana pergi! Entar gak keburu.”

“Baiklah,” ujar Nanda. “Lakukan sebaik-baiknya ya!” pesan Nanda kemudian pergi bergabung dengan teman-temannya.

Wini pun melangkah menuju meja dan mengambil jus melon kesukaannya. Tapi Wini sama sekali tidak meminumnya. Yang dia pikirkan hanyalah Nanda. Diperhatikannya wajah yang rada mirip Samuel Rizal itu. Beberapa saat lagi dia dan Nanda akan mengakhiri semua kepura-puraan yang selama ini mereka jalani.

“Seharusnya sejak awal gue sadar. Loe gak bakalan bisa gue miliki. Loe emang ada di dekat gue. Sama-sama gue. Tapi mestinya gue tau. Itu semua hanya sandiwara. Kepura-puraan. Cuma gue aja yang berdebar sendiri,” batin Wini. Nyaris butiran air matanya tumpah. Tapi sapaan dari teman sekelasnya membuatnya terpaksa menukir senyum.

Akting dan kepura-puraan. Entah sejak kapan sudah menjadi hal biasa bagi Wini. Sekarang dia dengan santai ngobrol dengan teman-temannya.

“Sebentar lagi...” batinnya. “Semua bakal berakhir.”

***

“Gue duluan ya!” seru Dion langsung kabur setelah berganti seragam dengan kaos oblong.

“Loh? Loe gak ikut ngerayain kemenangan kita?” tanya salah satu anggota timnya.

“Sorry friend. Gue ada acara. Gue ikut happy-nya aja ya,” ujar Dion berbalik sesaat kemudian benar-benar kabur ke BMW-nya tercinta.

“Moga masih keburu ke acaranya Nanda,” bisiknya kemudian buru-buru melaju ke tempat acaranya Nanda.

***

“Kamu kenapa sih? Tiba-tiba aja marah gak jelas. Memang aku salah apa?” Nanda menarik tangan wini.

“Pikir aja sendiri! Kamu kira enak dicuekin selama dua jam?” balas Wini sambil mencoba melepaskan cengkraman Nanda.

“Ya, tapi aku kan gak tau kalau kamu gak suka. Dan dari tadi aku perhatiin kamu ok-ok aja ngumpul bareng yang lain.”

“Alasan. Pokoknya aku gak suka,” Wini kembali mencoba melepaskan cengkraman Nanda. Nanda melonggarkan cengkramannya hingga Wini terbebas.

“Cepat bilang putus!” isyarat Nanda ketika Wini hanya terdiam meski Nanda telah melepasnya.

“Win...” ujar Nanda.

Wini terus menunduk. Nanda kontan bingung.

“Win? Loe kenapa?” diangkatnya wajah Wini.

Wajah itu basah oleh air mata.

“Win, loe kok nangis?”

Semua yang tadi hanya terdiam melihat mereka yang tiba-tiba ribut kini mulai gaduh. Nanda segera memeluk Wini.

“Win, ini gak ada dalam skenario kan? Loe mau improv ya?” bisik Nanda. Wini justru terisak lebih kencang lagi.

“Maaf Nand, gue terlalu suka sama loe. Gue gak sanggub buat nyelesain semua ini. Gue pingin terus sama-sama loe. Gue egois ya...” batin Wini.

Wini melepas pelukan Nanda. Dengan masih terisak dia mencoba bicara.

“Maafin gue ya, Nand. Gue gak bisa.”

“Tanpa menunggu respon Nanda Wini pergi meninggalkan acara itu.

Nanda terdiam sejenak hingga akhirnya mengerti. Semua sudah terlalu jauh. Dan dia sadar, ada perasaan yang tumbuh diantara mereka tanpa dia sadari. Kini perasaan itu menyakiti Wini.

Saat tersadar Nanda langsung mengejar Wini.

“Win, tunggu gue! Gue ngerti! Please tunggu gue!”

Seolah tak mendengar Wini mempercepat langkahnya.

Malam itu tidak ada bulan. Hanya lampu jalan yang redup dan lampu kendaraan. Itulah penerang malam saat itu. Namun ternyata itu saja tidak cukup. Ketika hendak menyebrang jalan saat mengejar Wini, sebuah mobil melintas.

Terlalu cepat hingga Wini tak sempat melihat wajah Nanda untuk terakhir kalinya.

Wini berbalik. Menuju Nanda yang kini berlumur darah.

“Nanda! Nanda!” panggil Wini sambil memeluk tubuh yang kini tak bernyawa. “Nanda...”

“Wini...” lirih suara itu terdengar.

Wini mengangkat wajahnya. “Dion?”

Seketika Wini merasa tak ingin menyadari, Wini menolehkan pandangannya. BMW silver berada tepat di sampingnya.

“Gak...”

***

Dua minggu sejak Wini tak sanggub menyelesaikan sandiwaranya. Nanda menyadari semua yang telah terjadi. Dion melaju dan kecelakaan itu terjadi. Tak satupun dari mereka yang menginginkan hal itu. Tapi takdir berkata lain.

Kecelakaan itu merenggut nyawa Nanda. Menghapus keceriaan Wini. Dan menanam rasa bersalah pada Dion.

Ya... mobil yang dikendarai Dion menabrak Nanda. Tapi orangtua Nanda tidak menuntut Dion. Entah mengapa mereka sama sekali tidak mempersalahkan Dion. Seolah semua itu terjadi tanpa sebab. Tapi justru karena itu, Dion benar-benar merasa bersalah. Berkali-kali dia menemui orangtua Nanda. Tapii tak sedikitpun tampak kebencian pada mereka terhadap Dion.

”Semua ini kecelakaan. Tak satupun dari kita yang menginginkan,” kata itu selalu diucapkan oleh orangtua Nanda saat Dion menemui mereka. Sangat tulus terdengar. Membuat sesal itu semakin perih. “Itu takdir yang telah di tetapkan.”

Perih itu menjadi lebih membiru karena Wini terus menyalahkan dirinya sendiri. Seperti hari ini ketika Dion menemuinya.

“Coba gue selesaikan semua itu. Pasti Nanda gak ngejar gue. Pasti semua gak terjadi. Gue bodoh ya, Di. Seenaknya aja memaksakan kehendak gue.”

“Maafin gue, Win. Seandainya gue gak ngebut pasti...”

“Loe ngebut karena mau cepat-cepat ke acara itu kan? Gue yang salah. Maksa loe datang. Padahal loe sibuk.”

“Loe gak maksa gue, Win.”

“Loe selalu memenuhu apa yang gue mau. Gue egois...”

Dion memacu motornya melewati jalan yang licin itu. Rintk hujan menusuk wajahnya yang tak berhelm. Sesal itu telah mencapai ambang batasnya. Membawanya jauh dari sadar.

Gerimis mulai beralih menjadi hujan. Kian deras. Kian melicinkan jalan penuh tikungan yang dilaluinya.

Tanpa ia sadari air matanya telah bercampur dengan hujan yang menikamnya.

Sejak hari itu tak ada hal baik yang mebghampirinya. Tak satupun yang menyalahkannya. Tapi justru itulah yang menyakitkan.

Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dia sama sekali tak menghiraukan tikungan di depannya. Dion justu memacu motornya lebih kencang.

Pagar pembatas tikungan itu hancur dihantam motor yang Dion kendarai. Dia jatuh cukup tinggi. Memberi waktu yang cukup untuknya mengenang semua kebahagiaannya bersama Wini.

“Maaf...”

Itulah kata terakhir yang Dion ucapkan. Sedetik sebelum tubuhnya membentur bebatuan itu.

Dion tak sempat merasakan sakit itu. Karena sebelum darah membasahinya semua terlanjur gelap. Hening. Hampa. Dingin...

Sore itu, sekilas rintik hujan tak lagi putih bening.

***

“Eh, kalian masih ingat Dion?” bisik seorang mahasiswi pada teman-temannya.

“Dion yang mana?” tanya salah seorang temannya.

“Itu loh, Dion Yudha Maulana,” ujar sang Mahasiswi tadi.

“O.. Dion yang model sekaligus atlet bola kaki itu?”

Sang mahasiswipun mengangguk mengiyakan.

“Memang kenapa? Dia kan sudah meninggal tiga tahun lalu.”

“Iya nih. Ngapain juga ngomongin orang yang sudah gak ada,” ujar temannya yang dari tadi mencoba cuek, tapi tetap tidak bisa.

“Justru itu. Meninggalnya itu loh yang aneh,” ujar mahasiswi itu.

“Aneh apanya? Dia kecelakaan. Jatuh ke jurang gara-gara nabrak pagar pembatas.”

“Trus dari hasil autopsi dia gak lagi mabuk, dia juga gak make narkoba. Gak ada skandal atas kematiannya. Apanya yang aneh?”

“Justru itu. Gak ada alasan buat dia kecelakaan. Dia gak gila, gak make narkoba ataupun mabuk. Aneh kan?”

“Lantas apa? Dia dibunuh gitu?”

“Gak, bukan dibunuh, tapi bunuh diri,” jawabnya tegas.

“Eh?!” seru kedua temannya bingung.

“Gak mungkin orang lagi naik daun gitu bunuh diri,” sanggah temannya tak percaya.

“Mungkin aja,” ujar sang mahasiswi itu penuh semangat penuh kemenangan. “Kalau menyangkut masalah hati semua jadi bisa.”

“Maksudnya?”

“Dari yang gue dengar, dia itu bunuh diri,” ujarnya membuka cerita. Kedua temannya mendengarkan dengan serius. “pasalnya, pacar dari cewek yang dia suka meninggal gara-gara dia...”

Kedua orang temannya itu beberapa kali membelalakkan mata dan menutup mulut mereka seolah tak percaya akan apa yang mereka dengar.

Di luar semua itu, seorang gadis dengan rambut terurai panjang berdiri di puncak gedung. Angin pelan meniup rambutnya. Wajahnya yang pucat bersih tak dapat menutupi kecantikannya. Diperhatikannya orang-orang yang berada di bawahnya. Tampak sangat kecil olehnya.

“Seperti bidak catur. Hitam melawan putih. Ada kalanya kau memakan, ada kalanya kau dimakan. Seperti hidup,” bisiknya seolah bicara dengan angin yang dari tadi menemaninya. “Kalau ingin mempersingkat waktu permainan jadilah umpan.”

Dipandangnya langit berawan itu. Seolah dua wajah terukir penuh senyum di sana.

“Aku ingin cepat-cepat bertemu kalian. Karena itu, aku menjadi umpan saja...”

Wanita itu melepaskan dirinya, jatuh dari lantai tujuh universitas itu. Dipejamkannya matanya. Wajah Nanda dan Dion tergambar di sana.

BRUK!!!

Ketiga mahasiswi yang tadi membicarakan Dion spontan menjerit histeris. Seorang mahasiswi jatuh tepat di depan mereka. Darah menggelinang membanjiri wanita itu. Dia Wini...
Umpan selesai

Teruntuk Sebuah Nama

Kala mata ini terpejam

Bayangmu melintas

Menari dan berputar di kepalaku

Tersenyum dan tertawa untukku

Ketika ku buka mata ini

Yang ada hanya kosong

Semua hampa tanpa arti

Semua terlanjur imajinasi

Membuatku sungguh kesal

Namun ku tersadar

Kau terlalu tinggi tuk ku raih

Kau terlalu mahal tuk ku miliki

Biarlah semua ini sebatas pejaman mata

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli yang buta

Aku melipat kembali surat berisi puisi yang ku dapat di dalam laciku. Surat abu-abu itu terbungkus rapi di dalam amplop. Tanpa nama pengirim.

“Dari siapa?” tanya Andi sambil merebut surat abu-abu itu dari tanganku tanpa perduli apakah aku mengizinkan dia untuk membacanya.

“Jangan iseng deh, Ndi!” seruku.

“Tenang aja! Aku cuma mau baca kok,” ujar Andi sambil membuka lipatan surat itu. Sesaat kemudian wajahnya berubah mengesalkan. Aku yakin beberapa detik lagi tawanya akan meledak. Seharusnya aku sadar. Membiarkannya membaca surat itu sama saja dengan mengundang neraka...

“Oh... teruntuk sebuah nama, akulah sang bisu tuli yang buta...” ujarnya sambil berpose seperti pangeran yang mengatakan cintanya pada putri salju.

“Weks! Kau membuatku mau muntah,” seruku sambil merebut kembali surat itu.

“Ha.. ha.. ha.. jangan begitu! Ini pose terbaikku,” sanggahnya sambil terus tertawa. “Tapi ngomong-ngomong siapa tuh sang bisu tuli yang buta?”

“Mana aku tau, emangnya aku dukun apa?”

“Ya juga sih,” ujarnya. “Tapi kalau gak salah kamu pernah mengalami hal yang sama tahun lalu kan?"

“Maksud kamu tindakan bodoh dari Nia dan teman-temannya itu?” tanyaku. Andi mengangguk pelan.

“Waktu itu dia ngirimin kamu surat berisi puisi berkali-kali. Trus seminggu kemudian dia nembak kamu, trus...”

“Trus besoknya dia mutusin aku. Katanya dia ngerasa kalau aku ini ngebosanin dan gak asik,” potongku cepat. Kalau ingat kejadian itu rasanya aku ingin kesal terus.

Nia gadis yang cantik. Dia idola di sekolah. Bagaikan mimpi rasanya dia mendekati bahkan nembak aku. Tapi ternyata itu semua hanyalah bagian dari permainannya saja. Semua tak lebih dari sandiwara. Itulah yang membuatku kesal.

“Kalau ini perbuatan mereka, aku gak bakal mau terjebak untuk kedua kalinya...”

***

Hari ini lagi-lagi aku memperoleh puisi di laci mejaku. Dengan warna surat yang sama.

Mata ini tak dapat terpejam

Ada kerinduan yang menyingkapi segalanya

Ada satu hal yang belum bisa aku katakan

Andai semua ini nyata

Izinkana aku menyayangimu

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli dan buta

“Surat lagi nih?” tanya Andi. “Kamu sudah tahu siapa sang bisu tuli yang buta itu? Apa benar dia Nia?”

“Gak tau deh. Aku cuma berharap ini bukan ulah cewek iseng,” jawabku sambil menggigit roti yang sudah dari tadi berada di tanganku.

“Ooo... jadi kamu benar-benar berharap kalau cewek itu serius suka sama kamu?” tanya Andi membuatku terdiam. “Apa kamu jadi menyukai sang bisu tuli yang buta itu?”

“Maksud kamu?”

“Hanya dengan kata-kata dalam surat-suratnya itu kamu jadi menyukainya,” ujar Andi memperjelas.

“Gak tau deh. Aku hanya gak mau dijadikan sasaran lagi oleh cewek iseng,” jawabku. Tapi sebenarnya aku bingung. Apa mungkin yang Andi katakan benar? Apa mungkin aku jadi menyukai ceewek yang mengirim surat itu? Tapi bagaimana kalau cewek itu Nia? Orang yang pernah menyakitiku.. Aku harap ini semua bisa jadi jelas.

***

“Puisi yang ketiga nih...!” seru Andi sambil menepuk bahuku. Tiba-tiba Andi membalik badannya dan berjalan menuju mejanya. “Laciku kok kosong ya? Curang nih, kamu terus yang dapat surat,” ujar Andi sambil mengacak-acak isi lacinya.

“Jangan ngeledek deh!”

Tiba-tiba seseorang merebut itu dari tanganku.

“Wah! Lihat deh teman-teman! Rey dapat surat,” ujar orang itu yang tak lain adalah Nia. “Kira-kira isinya apa ya?” Nia lari ke depan kelas dan membaca surat itu.

“Nia, kembalikan padaku!” seruku padanya.

“Wow! Romantis banget,” serunya. “Isinya puisi. Aku bacain ya!”

“Nia! Jangan iseng deh!” seruku lagi dengan suara yang lebih keras.

Tapi sepertinya Nia tidak perduli. Dia justru membacakan puisi itu keras-keras.

Saat hatimu merasuk jiwaku

Tak pernah lagi ada curiga

Cukup cinta yang ku minta

Dan takkan pernah ada cinta yang lain

Ku berikan semua cinta tanpa rasa ragu

Ku hadirkan semua rasa yang terindah di jiwa hanya untukmu

Meski bulan tak lagi berhembus

Hatiku akan untukmu selalu

Teruntuk sebuah nama

Akulah sang bisu tuli yang buta

“Wah! Penggemar rahasiamu ini romantis banget...” ujar Nia sambil terus memperolokku. “Ternyata setelah putus dari aku kamu jadi laku.”

Seisi kelas jadi ribut. Mereka menertawkan aku. Itu membuatku sungguh kesal.emosiku sudah sampai ke titik batas.

“SUDAH! DIAM!” teriakku. “Kalian benar-benar menjengkelkan. Dan kau Nia, apa kau merasa senang menggangguku seperti ini? Apa kau merasa hebat menggangguku seperti ini? Kamu ini benar-benar tidak punya perasaan. Aku tidak akan mengikuti permainanmu lagi. Aku minta hentikan semua ini. Surat-surat itu membuatku muak.”

Seisi kelas jadi hening. Bakan Nia yang tadi memperolokkupun terdiam. Kenapa jadi begini? Apa kata-kataku keterlaluan? Aku hanya ingin Nia berhenti menggangguku.

“Rey,” ujar Andi yang dari tadi berada di belakangku. “Kamu hebat.”

“Aku mau keluar. Aku butuh udara segar,” aku meninggalkan kelas hening itu. Hari ini sangat buruk bagiku.

***

Sudah dua hari sejak kejadian aku mengamuk di kelas. Sudah dua hari pula surat-surat itu meninggalkanku.

“Sang bisu tuli yang buta itu mungkin cuma orang iseng ya,” ujarku pada Andi seolah sedang mengeluh. “Mungkin dia sudah bosan.”

“Kok gitu? Mungkin saja dia benar-benar menyukaimu?” ujar Andi berhenti menulis salinan prku kemudian menatapku.

“Ada apa? Kenapa menatapku begitu?” tanyaku bingung.

“Aku hanya berpikir kalau sekarang kau sudah benar-benar menyukai ­sang bisu tuli yang buta itu.”

“Sudah ah! Aku gak mau pusing memikirkan itu.”

“Aku kasih tau ya, Rey. Kalau aku jadi kamu aku pasti cari tau siapa sang bisu tuli yang buta itu. Karena bukan hal yang mudah untuk membuat dan memberikan puisi kepada orang yang kita sukai. Meskipun secara diam-diam.”

Kalau dia menyukaiku, mengapa dia berhenti mengirimiku surat? Pikirku.

***

“Kangen sama suratnya sang bisu tuli yang buta ya?” goda Andi membuyarkan semua isi otakku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku suka memandang ke laciku. Berharap akan ada surat abu-abu di dalamnya.

“Berisik!!” seruku sambil melemparnya dengan buku yang dari tadi tak selesai kubaca. “Balik ke mejamu sana!”

“Jangan galak gitu dong! Lagian teman sebangkumu ini kan belum datang. Boleh dunk aku duduk lebih lama di sini.”

“Siapa bilang? Dia sudah datang tuh,” ujarku sambil menunjuk ke arah Ana yang baru saja muncul si pintu kelas. Sudah beberapa hari ini dia kalah balapan dengan bel masuk.

***

“Mesti buru-buru nih. Semua sudah pada pulang,” bisikku pada diri sendiri sambil terus mempercepat langkahku menuju kelas. Ini semua karena nilaiku anjlok. Aku jadi harus berurusan dengan guru BP. Sampai-sampai harus pulang paling akhir seperti ini.

Sesampainya di kelas aku tak melihat seorangpun di sana. Bahkan Andi yang biasanya setia menungguikupun sudah pulang. Yang tersida hanyalah tas milikku dan...

“Buku siapa nih?” aku membaca nama yang tertera pada buku itu. “Ana? Ini buku Ana ya? Kalau tidak salah tadi dia masih ada di gerbang. Apa aku antarin aja kali ya?”

Saat buku itu ku angkat berlembar-lembar kertas abu-abu bertebaran dari lipatan buku itu. Aku langsung teringat pada surat abu-abu yang kuterima selama ini..

“Apa mungkin sang bisu tuli yang buta itu adalah...”

“Rey?!”

Aku berhenti membaca lembaran abu-abu itu. Ana menatapku. Dia berdiri kaku di pintu kelas. Wajahnya benar-benar pucat. Terlihat sangat cemas.

“Maaf,” ujarku lirih. Aku jadi tidak enak sendiri melihat ekspresinya yang benar-benar terkejut. “Aku tidak bermaksud lancang. Tadinya aku mau membawakan buku ini untukmu, tapi kertas-ketas itu jatuh dan aku...”

“Apa kamu sudah membaca semuanya?” tanyanya dengan suara bergetar.

Aku hanya diam tak menjawab. Aku melihat bahunya berguncang. Wajahnya seakan mau menangis. Hal itu membuatku merasa tambah bersalah. Seketika air matanya tumpah. Dia berbalik dan berlari meninggalkanku.

“Ana! Aku benar-benar...” aku berlari mengejarnya.

“Ana, maaf kalau aku salah,” pintaku saat berhasil mendapatkan tangannya dan menghentikannya. “Aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”

Sejenak waktu berlalu dengan hening. Ana hanya diam dan aku tidak tau harus berkata apa.

“Ana, aku...”

“Maaf,” ujarnya tiba-tiba. “Akulah yang mengirimi surat-surat itu.”

Ana menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah ingin menyembunyikannya dariku.

“Kamu boleh marah kok. Tapi sungguh. Aku tidak bermaksud mengganggumu dengan surat-surat itu. Aku benar-benar tidak tahu kalau surat-surat itu membuatmu muak. Aku benar-benar minta maaf.”

“Jadi, karena itu kamu berhenti mengirimiku surat? Karena itu kamu menyimpan surat-surat itu untuk dirimu sendiri?”

Ana tak menjawab. Dia masih terus menyembunyikan wajahnya.

“Maaf. Waktu itu aku tidak bermaksud menyakitimu. Waktu itu aku hanya kesal karena Nia memperolok aku dengan surat itu. Awalnya kupikir surat-surat itu dari dia. Tapi kemudian aku sadar. Gadis angkuh dan manja seperti Nia tidak mungkin mempunyai perasaan tulus dan hangat seperti kata-kata yang tertulis pada surat itu. Dia bukanlah sang bisu tuli dan buta-ku,” aku menarik napas dalam-dalam kemudian akupun melanjutkan kata-kataku. “Entah sejak kapan aku jadi menunggu surat itu datang. Aku merindukannya. Tapi surat itu kini tlah terhenti. Kupikir sang bisu tuli dan buta sudah tidak menyukaiku lagi.”

“Itu tidak mungkin Rey,” Ana mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatapku.

“Sekarang sang bisu tuli yang buta tidak lagi bisu, tidak lagi tuli dan tidak lagi buta. Sekarang dia sudah bisa bicara, mendengar dan melihat sebuah nama yang ada di hadapannya...”

“Rey...”

“Sekarang diam dan dengarkan aku! Setelah itu baru bicara,” pintaku. “Dulu sang bisu tuli yang buta menyayangi sebuah nama dengan hatinya. Sekarang dia sudah dapat melihat sebuah nama dengan matanya. Apa sang bisu tuli yang buta akan tetap menyayangi sebuah nama sepeti dulu?”

“Masih...” jawab Ana. “Bahkan rasa sayang itu tumbuh semakin besar. Sang bisu tuli yang buta hanya bisa bicara, mendengar dan melihat sebuah nama. Kaena kini perasaannya telah tersampaikan.”

“Begitu pula dengan sebuah nama. Ia merasa lega karena sang bisu tuli yang buta tulus menyayanginya...”

Andi benar. Hanya dengan ketulusan yang tersirat dalam surat-suratnya aku jadi terus memikirkannya. Tanpa sadar rasa sayang ini tumbuh membuahkan suatu perasaan yang sulit untuk kumengerti. Tapi aku suka itu...

Bayangan ini seperti mengikuti kemana saja aku melangkah

Hingga hati terpengaruh pikiran

Diri ini hanya bisa meratap

Apa yang kurasa

Ntah apa yang terjadi

Membuat kepasrahan timbul

Apa mungkin ini terkabul

...

Siapa gerangan dirinya?

Menerobos gelapnya dinding hati

Tercipta sebuah prolog

Ternyata cinta yang bisa menguatkana aku masih di sini


Teruntuk Sebuah Nama selesai

Takkan Berakhir dengan Indah

“Maaf ya,” kata-kata itu kembali harus aku dengar. “Aku ada latihan basket. Sekali lagi maaf...” ujar Qhiyan sambil menyatukan kedua telapak tangannya ke atas.

“Gak pa-pa kok,” jawabku seperti biasanya sambil tersenyum simpul. “Lagian aku kan bukan anak kecil yang gak bisa pulang sendiri.”

“Makasih ya, Crish. Kamu selalu mau ngertiin aku,” ujarnya sambil menggenggam tanganku. “Aku pergi dulu ya,” Qhi pun berbalik dan melangkah pergi.

Aku mengambil tasku, kemudian pergi ke luar kelas yang telah kosong itu. Aku menuruni tangga sambil memperhatikan halaman sekolah yang becek diguyur hujan.

Sekolah benar-benar telah sepi. Hanya tampak beberapa anak basket yang sedang latihan di aula. Aku berhenti di jendela ketika melihat sosoknya berlari di tengah lapangan sambil menerpa hujan yang turun tanpa belas kasihan menuju aula. Dia Qhiyan, pacarku yang tadi telah membatalkan janji untuk pulang bareng. Kami sudah jadian sejak semester lalu. Dia menyatakan perasaannya disaat upacara penerimaan siswa baru. Dia merebut mic dari tangan ketua osis yang sedang membacakan kata sambutan. Dia mendapat hukuman atas tindakannya itu.

Qhi melambaikan tangannya pada teman-teman sesama anggota basketnya saat telah sampai di depan aula. Dia selalu begitu. Seperti anak kecil dan tidak pernah berubah.

“Hai, Crish,” sapa Dhea mengagetkanku. Akupun menoleh sekilas. “Jangan tertipu dengan wajah polosnya dong!” serunya.

“Siapa yang tertipu, Dhea?” tanyaku. “Dia gak pernah bohongin aku kok.”

“Tapi dia nyaris selalu ngebatalin janjinya kan?”

“Tapi dia gak bohong, dia selalu jujur terhadap alasan-alasannya itu.”

“Ya-ya, kamu benar,” ujarnya. “Tapi dia pernah melarang kamu jadi menejer basket kan? Padahal kalau kamu jadi menejer basket kamu bisa sering-sering dekat dia dan pulang bareng.”

Aku terdiam mendengar kata-kata Dhea. Itu benar. Aku sendiri tidak tahu apa alasannya melarangku menjadi menejer basket.

“Dia pasti punya alasan yang sulit untuk dijelaskan,” ujarku untuk menenankan diriku sendiri.

“Ya, semoga itu alasan yang menyenangkan,” ujar Dhea pula. “Eh, kamu mau pulang kan?”

Aku mengangguk kemudian meneruskan lankahku menuju locker. Kuambil jas hujanku dan langsung kukenakan. Mataku tertuju pada Dhea yang berada di belakangku. Dia membelakangiku sambil menatap cermin di lockernya. Dia merapikan rambut dan tatanan wajahnya.

“Kamu dijemput lagi ya, Dhea?” tanyaku.

“Hm... gitu deh!” jawabnya dengan nada riang. “Kamu mau bareng?” tawarnya kemudian.

“Oh, gak. Makasih,” tolakku. “Aku gak pengen jadi penonton setia yang melihat kalian bermesraan sepanjang jalan.”

“Hayo ngaku!” serunya sambil berbalik menatapku. Sekarang penampilannya lebih rapi dari sebelumnya. Ada dua pita kecil menyilang di poninya yang menyiratkan kebahagiaannya. “Batinmu tertekan kan? Kamu cemburu karena kamu dan Qhi gak pernah ada waktu buat berduaan seperti aku dan kak Frans.”

“Ngaco kamu. Aku bakalan bosan kalau mesti jalan berduaan sama cowok,” kilahku berbohong. Sejujurnya aku sangat ingin jalan berdua sama Qhi. Selama jadian kami belum pernah kencan sekalipun.

“Aku akan coba untuk percaya kata-katamu itu,” ujar Dhea sambil tersenyum menahan tawanya. “Tapi aku tidak akan marah kalau kamu melanggar kata-katamu itu.”

“Sudah ah! Pergi sana!” usirku sambil mendorongnya keluar. “Kamu sudah dijemput tuh.”

“Oke, bye yach...!” Dhea berlari menuju Frans yang menjemputnya dengan sedan silvernya.

Akupun melangkah pergi meninggalkan sekolah.

***

“Crish, pulang nanti bareng, ya!” pinta Qhi yang tiba-tiba muncul di depan pintu kelasku.

“He-eh,” jawabku sambil mengangguk.

“Kalau gitu sampai jumpa pulang nanti ya,” Qhi pun berbalik kembali ke kelasnya.

“Kencan ya?” goda Dhea yang sedari tadi berada di belakangku. Kontan saja wajahku memerah. “Wah! Kira-kira gimana ya kencan pertamanya Crish?”

“Kamu apa-apaan sih? Ini bukan kencan. Aku cuma pulang bareng aja.”

“Tapi dari sekolah ke stasiun lumayan jauh juga kan? Trus...”

“Trus apa?”

Dhea tidak menjawab. Dia hanya tersenyum penuh arti (yang sangat menjengkelkan).

“Sudah ah!” seruku. “Aku gak mau dengarin kamu lagi.”

***

Aku berjalan sendirian menuju stasiun. Angin sore membuatku terpaksa berulang kali memperbaiki rambutku. Hari ini lagi-lagi Qhi membatalkan janjinya pulang bareng. Alasannya sama, ada latihan basket dadakan.

“Ah... kenapa sepertinya Qhi lebih mementingkan basket dibandingkan aku? Apa sih sebenarnya arti aku dalam dirinya?”

“Gak! Aku gak boleh berpikiran yang enggak-enggak terhadap Qhi. Dia gak bohong sama aku. Dia jujur. Meskipun...” aku mengakhiri kata-kataku itu. Aku gak mau berpikir hal buruk tenteng Qhi. Dia gak pernah berbuat sesuatu yang menyakitiku.

“Basket itu bagian dari hidupnya. Dan aku gak mau jadi penghalang baginya. Lagipula dia kenal basket jauh sebelum aku jadian sama dia.”

***

“Crish, kemaren aku lihat kamu jalan sendirian ke stasiun. Kenapa? Kamu gak jadi pulang bareng Qhi?” tanya Dhea yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelah mejaku.

“Seperti biasa,” jawabku malas kemudian menenggelamkan wajahku diantara tanganku yang menyilang di atas meja.

“Kamu sudah mulai bosan ya sama dia?” tanya Dhea terus terang. “Kenapa gak kamu putusin aja sih?”

Aku menggeleng pelan tanpa mengangkat wajhku. “Gak bisa. Aku...”

“Kenapa gak bisa?” selidik Dhea. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah. “Atau jangan-jangan kamu sama Qhi sudah terlanjur...”

GGDDDEBBUUUKKK!!!

Sebuah kamus kudaratkan tepat di jidat Dhea.

“Kamu mikirin apa sih? Gimana mau ngapa-ngapain? Jalan bareng aja gak pernah.”

Dhea cuma nyengir sambil ngelus jidatnya yang tadi aku timpuk. “Ye! Lagian kamunya ngomong gitu. Wajar dong kalau aku jadi mikir yang enggak-enggak.”

“Dia itu cinta pertama aku. Sekaligus cinta sejati aku.”

“Gak sesuai ama kamu deh. Aku pikir kamu iru bukan cewek pemuja cinta,” ujar Dhea sambil menahan tawa.

“Gak sopan!” sungutku kesal.

“Ye... ngambek nih ceritanya?” ujarnya. “Sorry deh. Aku kan cuma mencoba jujur. Tapi Crish, kalau kamu gak bahagia buat apa dipertahankan?”

“Aku kan sudah bilang, dia itu..”

“Up to lah. Tapi kamu harus tahu kalau kebahagiaan kamu juga penting. Egois sesekali gak pa-pa kok. Kamu jangan terus-terusan memaafkan ataupun memakluminya. Cobalah marah. Cemburu pada basketnya itu. Okey?”

“He-eh,” jawabku singkat. Dhea pun beranjak pergi kembali ke mejanya.

Ah... apa aku harus cemburu? Apa gak pa-pa kalau aku minta dia mengorbankan latihannya untuk mengikuti keinginanku? Mungkin Dhea benar. Selama ini aku selalu mengikutinya. Tidak pernah menentangnya. Padahal hatiku berkata lain.

***

“Crish, hari ini aku gak ada latihan. Pulang bareng yuk!” ajak Qhi ketika aku sedang mengambil sepatuku di locker.

“Ng... boleh-boleh aja,” jawabku mencoba cuek. Aku harap dia tahu kalau aku lagi kesal sama dia. Tapi sepertinya wajahku tidak mendukung semua itu. Aku tampak begitu bahagia.

“Yuk!” ajaknya. Dia menggandeng tanganku. Entah mengapa rasanya hati ini deg-degan dan aku sangat sadar kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus.

Tapi... ah! Semua ini hanya berlangsung beberapa detik saja.

“Qhi, kamu dicariin dari tadi ternyata di sini. Kapten mau merayakan kemenangan kita. Kamu harus ikut ya!” seru temannya saat kami baru keluar dari gerbang.

“Sekarang?”

“Ya sekarang lah. Kapan lagi?”

Qhi menatapku. Aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

“Aku gak pa-pa kok pulang sendiri.”

Qhi tampak enggan.

“Aku gak pa-pa. Kamu sudah di tunggu tuh.”

“Makasih banget ya, Crish..” ujar Qhi sambil mendekap tanganku. “Aku pasti menebus hari ini.”

Aku mengangguk mengiyakan tapi aku tidak berharap dia akan memenuhinya. Ah... akhirnya aku pulang sendiri lagi.

***

Hari ini aku sudah menetapkan hatiku. Aku akan mengakhiri semua ini. Hubungan kami tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Aku akan mengakhirinya dengan indah.

“Qhi, aku mau ngomong,” pintaku. “Temui aku di kantin pulang sekolah nanti!”

“Mau ngomong apa? Kenapa gak sekaranga aja?”

Aku menggeleng pelan. “Aku gak mau ngong sekarang.”

“Ok deh. Nanti aku temui kamu.”

Aku langsung berbalik kembali ke kelasku. Aku gak bisa melihatnya lebih lama lagi. Bisa-bisa aku berubah pikiran. Aku sudah putuskan untuk mengakhiri semua ini.
***

“Kamu serius?” tanya Qhi. Aku sadar bahwa ada kekecewaan pada nada bicaranya. “Kenapa? Padahal aku tulus mencintai kamu. Apa kamu gak percaya sama aku?”

“Aku percaya sama kamu kok,” jawabku jujr. “Tapi aku gak mau kita terus begini...”

“Bukannya selama ini kita baik-baik saja?”

Aku mengangguk pelan. “Kali ini aja. Aku pingin kamu mengikuti keinginanku. Aku mohon! Aku ingin hubungan ini berakhir dengan indah. Tanpa ada dendam maupun benci.”

“Aku ngerti. Aku akan turuti keinginan kamu ini.”

“Makasih...” ujarku kemudian berlari menjauh.

Apakah yang kulakukan sudah benar? Aku tidak mengambil keputusan yang aneh. Sekarang semua sudah ku akhiri dengan indah. Tapi mengapa air mata ini terus mengalir tanpa hentinya? Harusnya aku bahagia...

“Qhi... aku akan tetap mencintaimu, meskipun semua ini telah berakhir,” nisikku.

***

“Pagi, Dhea...” sapaku pada Dhea yang berdiri di puntu kelas membelakangiku.

“Pagi juga...” balas Dhea sambil berbalik. “Jangan senyum gitu! Gak cocok sama mata kamu yang lagi bengkak,” serunya sambil menjitakku.

“Apa hubungannya? Mataku bengkak gara-gara tidur kemalaman kok,” sanggahku berbohong.

“Suara kamu juga serak. Kebanyakan nagis tuh...” ujarnya sambil menjitakku lagi. “Kalau mau bohong belajar dulu! Emang ada apa lagi?”

“Gak ada apa-apa kok, aku...” mataku memanas. Aku terpaksa ingat kejadian kemarin lagi. “Aku lagi senang kok,” aku sadar suaraku terdengar gemetar. Aku mencoba menahan tangisku. Tapi tetap saja mengalir. Menunjukkan rupanya.

“Huh! Aku tah kalau kamu itu memang bodoh dan aku sering bikin kamu nangis. Tapi aku gak rela kalau ada orang lain yang buat kamu nangis selain aku.”

“Bukan...” aku mencoba membela. Tapi suaraku tercekat di tenggorokanku dan tak mau keluar.

Aku merasa ada tangan yang menarikku. Membawaku pergi. Aku mengangkat kepalaku. Meski pandanganku sudah kabur tertutup air mata tapi aku masih bisa mengenali siapa orang yang telah membawaku.

“Qhi?”

Aku menoleh ke arah Dhea yang tersenyum kepadaku sambil melambaikan tangannya. “Be happy!”

Aku menoleh kembali pada Qhi. Baru kali ini aku melihat Qhi dengan wajah serius seperti itu. Dia jadi lain.

“Qhi...” bisikku. Tapi Qhi seolah tidak mendengar. Dia terus membawaku hingga sampai ke tengah lapangan.

“Qhi?” bisikku lagi. Dia melepaskan genggamannya “Ada apa?”

“Mengenai hubungan kita...”

“Bukankah itu sudah berakhir?” tanyaku mencoba tetap bicara dengan suara yang tenang. “Aku harap hubungan kita bisa berakhir dengan indah. Tanpa ada dendam...” aku merasa kalau suaraku mulai tidak terkontrol lagi. Aku merasa bibirku bergetar setiap aku mencoba untuk tidak menangis. “... tanpa ada benci... dan tetap bisa ngobrol seperti biasa.”

“Jangan mengkhayal!” serunya. Aku melihat keseriusan di wajahnya. “Kamu pikir perasaanku padamu bisa berakhir dengan indah? Kau akhiri seperti apa yang ada dalam pikiranmu? Seperti yang kau mau?”

“Aku tidak ingin kita jadi saling tidak enak satu sama lain, makanya aku...”

“Makanya kamu ingin mengakhirinya dengan indah?” potongnya. “Itu tidak mungkin,” sanggahnya. “Cinta sejati tidak akan berakhir dengan indah seperti apa yang kau bayangka.”

Aku hanya bisa tertunduk. Aku tidak berani menatapnya ataupun membelas kata-katanya. Qhi benar, kisah cinta yang berakhir dengan indah hanya ada di novel atau komik saja. Tidak mungkin terjadi di kehidupanku yang nyata.

“Cinta sejati tidak akan berakhir dengan indah, Crish. Karena cinta sejati tidak akan pernah berakhir...”

Entah perasaan apa ini. Ketika mendengar perkataan Qhi itu rasanya cinta yang sempat berguguran di hatiku ini kembali memekarkan kuncupnya. Ah! Bukan. Cinta itu memang belum gugur seutuhnya. Dia masih ada di sana meski aku sudah mencoba menggugurkannya.

Qhi mendekapku. Kami jadi tontonan orang satu sekolah. “Qhi, apa kamu tidak bisa menunjukkan perasaanmu dengan cara yang biasa-biasa saja? Kamu selalu ngebikin heboh pernyataanmu...”

“Untuk orang yang spesial aku gak mau ngasih yang biasa-biasa aja.

Aku sungguh bahagia. Aku takkan pernah mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya. Aku janji Qhi...

***

“Maaf aku telat,” ujar Qhi sambil mencoba menyelaraskan nafasnya.

“Gak pa-pa kok, aku nunggunya juga belum lama,” jawabku.

Ini kencan pertamaku dengan Qhi. Meskipun dia terlambat di kencan pertama ini aku akan tetap menyayanginya.

“Qhi, aku boleh nanya?” Qhi menatapku heran kemudian mengangguk. “Kenapa sih kamu gak bolehin aku jadi menejer basket?”

Sesaat aku melihat wajah Qhi memerah. Dia jadi tampak sanat lucu.

“Kamu itu pacarku. Dan aku... aku gak mau pacaran sama menejerku. Selain itu...” wajah Qhi tampak kian memerah. “Anak basket semuanya anggota Crish fans club. Jadi aku...”

Aku ingin tertawa mendengar semua itu. Tapi aku lega. Ternyata itu adalah alasan yang menyenangkan.

“Aku cuma suka Qhi kok...”

Takkan Berakhir dengan Indah selesai

Perasaanku dan Perempuan Itu

Aku terus memperhatikannya. Perempuan yang berusaha tetap tersenyum saat putus dengan pacarnya. Mencoba menyembunyikan perasaan lukanya. Tapi aku bisa melihat mata yang penuh kesedihan dari balik sibakan poninya. Bahkan terlihat jelas olehku butiran air mata yang menetes saat pacarnya itu berbalik meninggalkannya. Dialah perempuan yang sangat ingin kulindungi. Andai aku bisa menyapanya.

“Lagi-lagi kamu memandangnya dari jauh,” ujar Ryo ikut menyender di jendela kelas.

“Memang gak boleh?”

“Boleh-boleh aja sih. Tapi bukan berarti kamu hanya akan terus-menerus melihatnya dari jendela kelas di lantai dua ini kan? Kenapa tidak diajak kenalan aja?”

“Kamu pikir dia sama kayak cewek-cewek lain yang bisa dengan mudah kamu rayu?” jawabku sedikit ketus. Yah... Ryo memang tergolong idol di sekolah. Dia pintar dalam akademik dan nonakademik. Wajahnya yang memang baby face bisa dengan mudah menggaet hati cewek-cewek yang ada di sekolah ini.

“O ya?” ujarnya tertarik. “Kurasa dia lumayan juga,” gumamnya membuatku jengkel.

“Jangan ganggu dia!”

“Tenang! Aku gak bakalan ganggu dia. Tapi gak ada larangan untuk mendekatinya kan?” Ryo tersenyum seakan memberi isyarat kalau dia ingin menantangku. “Di dunia ini hanya ada kalah dan menang. Kalau kamu lambat terus seperti ini kamu bakal kalah. Jangan nangis di depanku kalau nanti kamu dapat berita aku jadian dengan dia ya!” Ryo melangkah pergi meninggalkan kejengkelan di benakku.

“Candaanmu gak lucu, Ryo!” teriakku.

***

Aku paling tidak suka hari minggu seperti ini. Soalnya aku gak bisa melihat dia. Huh! Hari ini aku bosan sekali. Hal ini membuatku ingin pergi ke luar. Sedikit jalan-jalan akan sedikit mengurangi rasa bosanku.

Saat keluar dari game center aku melihat sesosok perempuan melintas di depanku. Aku mengenalnya. Aku tidak munkin salah. Setiap hari aku selalu memandangnya dari kejauhan. Dia perempuan itu. Mau kemana dia? Aku sedikit penasaran. Kuputuskan untuk mengikutinya.

Meski tubuhnya tampak lemah ternyata jalannya cepat juga. Akhirnya dia berhenti di sebuah jembatan yang sangat besar namun sudah tampak cukup tua. Dia berdiri menatap matahari senja itu. Wajahnya yang disinari matahari senja menambah keanggunannya. Rambutnya indah terurai dihembus angin sore. Sungguh anggun dia di mataku. Bagai sang ratu. Aku terpana oleh dirinya. Ingin sekali menghampirinya.

Dia menunduk seolah ingin melihat apa yang ada di bawah jembatan. Kakinya terangkat. Tidak! Dia akan jatuh!

Aku berlari bergegas menahannya. Jembatan tua itu berguncang seakan akan hancur. Aku meraihnya, menariknya ke belakang. Tapi aku justru kehilangan keseimbangan dan...

BRUK!!!

“Aduh!” ringisku. Sikutku terbentur tepi jembatan. Aku melihatnya terduduk di sampingku. “Maaf, tadi aku melihatmu hampir jatuh, makanya aku...” kata-kataku terhenti saat melihat air mata di wajahnya. “Kamu kenapa? Apa kamu terbentur? Mana yang sakit?”

Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Dia menatapku dengan mata yang penuh air mata. Aku jadi merasa tidak enak. Apa tindakanku salah? Kenapa dia nangis?

“Kenapa?” tanyanya dengan bibir gemetar menahan isak tangis. “Kenapa kamu tolong aku? Aku ingin mati saja.”

Ingin mati katanya? Kenapa? Apa dia punya masalah yang sebegitu rumitnya?

“Mati bukan suatu akhir keputusan,” ujarku.

“Kamu bisa ngomong begitu karena kamu tidak tahu seberapa menderitanya aku hidup. Aku ini gak diharapkan. Aku tidak pernah dianggap. Tidak diperdulikan. Tak seorangpun menyayangiku.”

“Bohong! Kamu tidak seperti itu. Kamu memang tidak pernah tahu, tapi aku sayang kamu.”

Gawat! Aku kelepasan ngomong. Apa dia akan marah padaku?

Dia menatapku penuh tanya. Tapi kemudian ekspresinya kembali seperti semula. “Makasih sudah menghiburku,” ujarnya dingin. “Kamu gak perlu seperti itu.”

“Aku... aku serius. Aku memang suka kamu,” aku meyakinkannya. Aku gak mau dia beranggapan kalau aku ini hanya main-main. “Aku selalu memandangmu dari kejauhan. Ingin sekali menyapamu. Tapi aku takut kamu beranggapan kalau aku gak sopan.”

“Tidak perlu menghiburku lagi!” ujarnya sambil berdiri hendak pergi.

“Ini bukan sekedar menghibur. Aku serius menyukai kamu. Jadi jangan beranggapan kalau gak ada orang yang menyayangi kamu!”

“Aku gak butuh dihibur,” ujarnya sambil berbalik melangkah meninggalkan jembatan ini.

Aku mendekapnya. “Aku serius,” ujarku. “Kamu mau menerimaku?”

Entah mengapa aku merasa kalau tubuhnya gemetar. Apa aku sudah kelewatan dan membuatnya takut?

“Maaf,” ujarku.

“Gak pernah ada orang yang mau menyayangi aku,” ujarnya gemetar. “Jangan mempermainkan aku! Kumohon!” pintanya.

Aku tidak pernah menyangka kalau dia sebegitu tertekannya.

“Aku serius,” ujarku. “Sejak pertama kali bertemu aku sudah menyukaimu. Perasaan itu tiba-tiba saja muncul.”

Dia membalik badannya dan membalas dekapanku. “Terima kasih.”

Aku merasakan air matanya tumpah. Tapi aku tidak akan membiarkan air mata itu menutupi wajahnya lagi. Aku akan membuat wajah itu dihiasi senyum.

“Aku antar pulang ya. Sudah terlalu larut. Gak baik kalau kamu pulang sendirian,” ujarku. Dia mengangguk mengiyakan.

Hari ini membuatku lega. Aku telah mencurahkan semua perasaanku. Sekarang aku tidak akan pernah lagi menatapnya dari jauh.

***

Pagi ini rasanya cerah sekali.sangat sesuai dengan suasana hatiku. Aku menyusuri koridor sambil bersiul pelan. Sesampainya di locker aku melihat Ryo berdiri menungguku.

“Ternyata gerakmu cepat juga ya,” ujarnya. “Aku tadi melihatmu ke sekolah bareng dia. Sudah sejauh apa kamu kenal dia?”

“Lumayan,” jawabku singkat.

“Ayo lah Raka. Apa kamu sudah bilang suka?” selidiknya.

Mendengar pertanyaan itu wajahku kontan memerah. Aku jadi teringat saat-saat pengakuan itu.

“Sudahlah! Tidak perlu dijawab! Aku sudah tahu semuanya dari reaksimu itu,” kata-kata itu membuat wajahku kian memerah. “Dia nerima kamu?”

“Aku mengangguk mengiyakan. “Dia bilang terima kasih.”

“Arghhh!!” geramnya gusar. “Sulit dipercaya tapi kamu benar-benar sudah mengalahkanku, Raka.”

Aku hanya diam melihat sisi kanak-kanak Ryo.

“Selamat,” ujarnya sambil menjulurkan tangannya padaku. “Aku memang tertarik padanya tapi aku tidak minat sama cewek temanku.”

Aku menjabat tangannya.

“Tapi ingat! Kalau kamu tidak menjaganya maka aku akan merebutnya darimu.”

“Tenang! Aku pasti akan menjaganya. Karena dia nyawaku,” ujarku.

Ryo berbalik meninggalkanku saat melihat Mia, gadis yang kupuja menghampiriku.

“Temanmu?”

“Ya,” jawabku. “Ng... ada apa nih? Kangen ya?” godaku.

“Gr-an ah!” serunya. Secercah senyum menghiasi wajahnya.

“Lantas apa?”

“Ng... aku mau ngomong aja,” jawabnya.

Sekarang aku dan Mia semakin akrab. Dia mulai terbuka denganku. Dia sering curhat. Bertukar pikiran denganku. Aku selalu melihatnya tersenyum. Wajahnya yang tersenyum kian anggun di mataku. Aku merasa sangat beruntung telah memiliknya.

Aku sudah tahu beberapa hal tentang dirinya. Dan juga alasan terperinci kenapa dia ingin bunuh diri waktu itu. Selama ini dia tinggal di tengah keluarga yang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Sampai-sampai tidak ada waktu lagi untuk memperhatikannya. Orangtuanya hanya ingin mendengar kalau dia berhasil. Tidak boleh ada kegagalan, tapi tidak pernah menghargai kesuksesannya. Bahkan dia pernah disakiti oleh pacar dan temannya. Pacarnya meninggalkan dia dan berpaling pada temannya itu. Teman yang sangat dia percaya dan pacar yang sangat dia sayangi telah membuatnya terpuruk kini.

Tak terasa olehku kalau hubungan kami inisudah berjalan selama empat bulan. Belakangan ini aku mulai sibuk dengan kegiatanku. Aku menjabat sebagai koordinator pentas seni sekolah. Hal ini membuat waktu kami untuk bersama kian sedikit. Begitu pula waktu untuk ngobrol dengannya. Bahkan untuk pulang bareng saja susah.

“Maaf ya, aku gak bisa pulang bareng. Aku mesti rapat. Mungkin agak lama,” ujarku saat pulang sekolah. “Sekali lagi maaf ya.”

Mia mengangguk pelan. Tanpa ekspresi apapun dia melangkah pergi.

Sebenarnya aku merasa tidak enak padanya. Sudah satu minggu ini aku gak pulang bareng dia. Pasti sudah banyak sekali yang ingin diceritakannya padaku. Apa mungkin dia akan marah padaku? Ah... semoga saja tidak. Aku tidak ingin dia membenciku. Baiklah. Saat pentas seni nanti aku akan terus bersamanya. Sebagai penganti waktu yang telah dikorbankan ini.

Malam ini aku kembali sibuk dengan proposal yang akan diajukan ke sekolah. Huh! Rasanya lelah sekali. Rasanya sehari itu tidak cukup dengan dua puluh empat jam. Aku menyingkir dari komputerku yang tetap kubiarkan menyala dan merrebahkan diriku ke atas kasur.rasanya punggungku ini sudah mau patah.

Aku meraih ponselku dan mengaktifkannya. Sejak sepulang sekolah aku mematikan ponselku. Ada beberapa pesan masuk, salah satunya mail boks. Mia menelponku sekitar pukul setengah delapan. Aku langsung menghubunginya pasti ada yang ingin dia bicarakan.

“Hallo,” ujarku.

“Hallo,” jawabnya.

“Tadi kamu nelpon ya? Maaf ya, tadi ponselnya aku matiin. Mau ngomong apa?”

“Ng... gak ada kok,” jawabnya. “Kamu lagi sibuk ya?”

“Sibuk? Gak begitu sih. Aku cuma lagi ngoreksi proposal aja kok.”

“O... ya udah deh.”

“Kok udah sih?” protesku.

“Aku cuma gak mau ganggu kamu,” jawabnya. “Bye...”

“Bye juga...”

Pandanganku menerawang. Dia mau ngomong apa sih? Kenapa gak langsung diomongin aja? Ya sudahlah, besok akan aku tanyakan langsung.

***

Tapi esok harinya aku tidak menemukannya di sekolah. Kata salah seorang teman sekelasnya dia tidak masuk. Aku mencoba menelpon ke ponselnya juga tidak aktif.

Kenapa jadi seperti ini? Aku merasa kehilangan dia, padahal baru sehari tidak melihat wajahnya. Meskipun selama ini waktu kami tersita tapi kami selalu bertemu.

Besoknya lagi-lagi dia tidak masuk tanpa ada keterangan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Ponselnya juga tidakl aktif- aktif.

Tiba-tiba saja perasaanku jadi tidak enak. Apa yang telah dia lakukan? Semoga dia tidak melakukan hal-hal bodoh.

Pulang sekolah ini tidak ada rapat. Aku akan ke rumahnya untuk menemuinya. Aku ingin sekali melihatnya. Mendengar kata-katanya.

Aku mencoba mengingat-ingat jalan ke rumahnya. Aku baru satu kali ke rumahnya, yaitu saat mengantarnya pulang ketika pertama kali aku bicara dengannya. Kalau tidak salah dua blok dari sini.

Tak lama aku sampai di depan rumahnya. Rumah bercat biru yang sangat rapi dengan taman kecil di depannya. Sederatan mawar bermekaran dengan beraneka warna di taman itu.

Aku masuk ke pekarangan rumah itu. Aku mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka.

“Cari siapa?” tanya perempuan yang sudah cukup berumur itu. Sepertinya dia ibunya Mia.

“Ng... Mia nya ada?” tanyaku sopan. “Sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah. Apa dia sakit?”

“Kamu temannya? Tanya perempuan itu. Aku mengangguk mengiyakan. “Dia tidak ada.”

Aku mengernyitkan dahiku. “Maksusnya dia sedang pergi? Kemana?”

Perempuan itu menggeleng cepat. “Bukan. Maksudku dia sudah tidak ada.”

“Tidak ada?” tanyaku bingung.

“Ya. Dia sudah meninggal,” jawab perempuan itu tanpa merasa sedih sedikitpun.

Kata-kata itu seolah telah merenggut rebagian kesadaranku. Rasanya kakiku sangat lemas sampai-sampai mau jatuh. “Meninggal?”

“Ya, dua hari yang lalu dia bunuh diri,” lagi-lagi perempuan itu bicara tanpa ada ekspresi sedih. “Oya. Apa kamu yang namanya Raka?” tanyanya. Aku mengangguk lesu. “Kalau tidak salah dia meninggalkan surat untukmu. Aku akan mencari surat itu. Semoga suratnya belum terbuang.”

Aku masih tetap terdiam. Kakiku semakin lemas. Keseimbanganku mulai goyang. Kenapa harus bunuh diri? Apa dia masih meragukan aku?

Perempuan itu muncul kembali dengan membawa secarik surat di tangannya kemudian menyerahkan surat itu padaku.

“Anak bodoh itu suka sekali melakukan hal-hal yang aneh dan tidak berguna. Kurasa dia sudah banyak merepotkanmu. Mungkin dia memang lebih baik meninggal,” ujarnya.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia benar-benar sendirian di rumah ini. Bahkan orangtuanyapun tidak menganggapnya.

“Ini kalau kamu ingin pergi ke makamnya,” ujarnya lagi sambil menjulurkan secarik kertas.

“Terima kasih,” aku menerima kertasa tersebut. “Mungkin Ibu tidak tahu, tapi dia sangat berarti bagiku. Dia tidak pernah merepotkanku,” ujarku kemudian melangkah pergi.

Aku membaca surat itu. Isinya sangat singkat.

“Aku sangat menyayangimu dan aku percaya dengan perasaanmu. Tapi dengan keadaanku yang seperti ini aku tidak ingin membebanimu dengan segudang masalahku. Biarlah perasaan ini kubawa pada mimpi. Andai kehidupan akan datang itu ada, aku ingin kita bertemu lagi, dalam keadaan yang lebih baik.”

Mataku terasa panas. Aku menangis untuk yang pertamakalinya.

“Kalau Ryo melihatku seperti ini mungkin dia akan mengejekku. Tapi salahkah aku kalau aku menangis untuk orang yang kusayang? Salahkah aku kalau aku menangis untuk orang yang telah pergi meninggalkanku? Biarlah aku dibilang cengeng. Toh ini memang sangat menyedihkan, Mia,” ujarku mendekap gundukan tanah merah bernisankan Mia yang ada di hadapanku.

“Aku juga sangat ingin bertemu lagi denganmu di kehidupan yang akan datang. Tapi aku tidak ingin kau meninggalkan aku lagi.”

Perasaanku dan Perempuan Itu selesai

Cukup Ada Aku di Hatimu

Aku mencintaimu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku merindukanmu seolah perasaan itu hanya milikku. Aku nyaris mati memikirkanmu. Aku ingin kau juga merasakan apa yang kurasakan ini...

Aku mengakhiri kata-kata itu dengan menutup diaryku. Aku menghela nafas yang terasa amat berat dan membiarkan diaryku di atas meja dalam keadaan tertutup. Pikiranku masih melayang jauh dari ragaka.

Aku mencintainya lebih dari siapapun. Walau aku tak pernah tahu rupanya. Aku belum pernah bertemu dengannya. Belum pernah melihat majahnya. Belum pernah menggandeng tangannya. Tapi entah mengapa aku bisa mencintainya. Apakah ini yang namanya cinta sejati? Ah... aku tak pernah tahu. Yang ku tahu hanyalah aku sangat merindukannya. Meski aku tidak bisa mengobati rasa rindu ini dengan membayankan wajahnya. Membayangkan senyumnya yang terindah.

Awalnya aku hanya iseng memberi nomor telponku. Tapi ternyata malamnya dia langsung menelponku. Kami berkenalan. Namanya Frans. Orangnya sangat dewasa, itulah kesan yang timbul saat aku ngobrol dengannya lewat telpon. Aku senang mendengarnya berbicara. Dia tidak seperti cowok-cowok yang ku kenal selama ini. Bicaranya sangat sederhana.

Dia mengajakku ketemuan hari sabtu sore. Aku mengiyakannya. Aku sangat senang karena akan bertemu dengannya. Hari itu akhirnya tiba. Tapi setelah satu jam menunggu orang yang di tunggu tidak juga muncul. Aku tidak menemukan orang dengan ciri-ciri yang dia berikan. Akhirnya aku meninggalkan tempat perjanjian.

Yeah... ternyata dia sama saja dengan orang-orang dunia chat lainnya. Suka membatalkan janji tanpa ngomong dulu.

Mungkin seharusnya hubungan kami hanya sampai saat itu saja. Tapi entah mengapa keesokan paginya aku sangat ingin mendengarkan penjelasannya. Alasan ketidakdatangannya kemarin. Aku menghubunginya saat itu juga. Saat aku baru bangun tidur.

Aku jadi merasa sangat bersalah sudah berprasangka buruk padanya setelah mendengar alasan ketidakdatangannya itu. Aku tidak tahu kalau dia ternyata mengalami kecelakaan kecil saat mau menemuiku.

Akhirnya kami jadi sering ngobrol lewat telpon. Hal ini menumbuhkan perasaan asing yang tidak ku kenal. Awalnya aku tidak menyadari perasaan apa itu, hingga akhirnya dia tidak menelponku selama seminggu. Entah mengapa aku merasa sangat rindu. Ingin tertawa bersamanya. Mendengar suaranya. Mendengar candaannya.

Aku mulai menyadari perasaan itu. Aku mencoba membendung cinta yang sudah menunjukkan kuncupnya itu. Namun aku kalah... aku tidak bisa menyimpan perasaan itu lebih lama lagi. Entah dari mana keberanian itu datang akhirnya aku putuskan untuk menelponnya. Aku ingin menyatakan perasaanku padanya.

Aku siap kalau nantinya aku akan ditolak dan kehilangan dia. Aku sudah membulatkan tekatku. Pagi itu juga aku menelponnya. Menyatakan perasaanku.

Tapi ini tak semudah yang aku bayangkan. Hampir satu jam lamanya aku terdiam tak mampu bicara. Sepertinya dia tahu apa yang aku pikirkan. Dia memberiku puisi yang dikutipnya dari lirik lagu padi ‘SIAPA GERANGAN DIRINYA’. Aku tak mampu bicara. Entah kemana perginya keberanian itu. Entah kemana hilangnya kata-kata yang telah kupersiapkan itu.

Sayup-sayp aku mendengar musik padi yang berjudul ‘MENANTI SEBUAH JAWABAN’.

Ya. Dia memang benar-benar tahu apa yang aku pikirkan. Akhirnya aku katakan juga semua isi perasaanku. Dia hanya diam. Mungkin dia sedang mencari kata yang sopan untuk menolakku.

“Benar sayang sama kakak?” tanyanya akhirnya.

“Ya,” jawabku yakin.

“Dhea gak tahu wajah kakak khan? Apa nanti gak nyesal waktu ngeliat kakak gak seperti yang Dhea harapkan?”

“Kak, Dhea sayangnya sama kakak, bukan wajah kakak.”

“Kakak juga sayang Dhea,” ujarnya. Aku sungguh bahagia mendengar kata-kata itu. “Tapi kakak pengecut. Kakak takut kalau Dhea bakal nolak kakak.”

“Kakak gak bohong kan?”

“Kakak sayang Dhea.”

Aku sungguh bahagia. Rasanya tidak akan ada yang bisa mengusik kebahagiaanku ini. Rasanya aku adalah orang paling bahagia sedunia. Aku orang yang paling beruntung.

Ah... andai terus seperti itu. Pasti aku takkan seperti ini sekarang.

Aku menyimpan diaryku ke dalam laci meja. Kemudian kuputar tembang padi, ‘MENANTI SEBUAH JAWABAN’. Tembang ini selalu kuputar saat aku merindukannya. Saat aku ingin di dekatnya. Ah... andai aku bisa berada di sisinya.

***

“Hei...!” sapa Eldo tiba-tiba hingga membuatku nyaris jatuh dari kursiku.

“Eldo. Lagi gak ada kerjaan ya?” sungutku sebal.

“Hehe.. aku kesal aja liat tampang kamu yang bete gitu. Jelek banget tau gak?” ujarnya sambil duduk di kursi sebelahku.

“Huh!” sungutku lagi. “Kamu tuh kapan sih bakal berubahnya?”

“Kamu tuh yang mesti berubah!” serunya sambil menggigit roti yang dari tadi dipegangnya. “Sampai kapan sih kamu bakal begini?”

“Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti.”

“Oya?” jeritnya dengan nada histeris yang sangat dibuat-buat. “Apa kamu gak sadar? Sejak kamu jadian dengan cowok internetmu itu kamu berubah. Aku gak pernah lagi ngeliat Dhea yang asik, ceria dan gaul. Kamu tuh sekarang aneh. Jadi sering bengong gak jelas, jadi suka murung pagi-pagi, gak pernah ketawa lagi. Kamu tuh terlalu mikirin dia, padahal belum tentu juga dia mikirin kamu. Kamu aja gak tau gimana wajahnya, dimana rumahnya, yang kamu tau hanya nomor telpon dan namanya. Sejak kalian jadian dia gak pernah nelpon kamu. Selalu kamu yang nelpon dia. Kenapa sih kamu selalu mikirin dia?”

Aku terdiam mendengar kata-kata eldo. Aku kesal. Ingin membantah tapi tak bisa. Semua yang Eldo katakan benar.

“Kenapa diam? Kamu marah?”

Aku menggeleng pelan. Mataku mulai panas hingga meneteskan air mata.

“Maaf ya, Dhea. Mungkin kata-kataku tadi keterlaluan,” ujar Eldo sambil membelaiku lembut.

“Do, kamu tuh temen aku. Kamu selalu baik sama aku, selalu ngertiin aku, selalu ngasih semangat sama aku, perhatian sama aku. Tapi kenapa? Kenapa dia gak seperti kamu? Kenapa dia cuek banget sama aku?” tanyaku sambil mencoba meredam isak tangisku.

‘Aku juga gak tahu kenapa. Aku bukan dia sih...”

***

Kata-kata Eldo tadi pagi selalu terpikir olehku. Memang benar aku selalu memikirkannya, merindukannya. Tapi sepertinya kak Frans tidak pernah memikirkan apalagi merindukanku. Buktinya dia gak pernah ada waktu untuk ketemu sama aku, bahkan nelponpun gak sempat. Seolah-olah hanya akulah yang menyayanginya. Perasaanku ini tidak pernah terbalas meski dia sudah mengatakan sayang padaku.

Ah... apa yang harusa aku lakukan? Aku tak bisa terus-menerus sabar dengan semua ini. Aku ingin bicara, ingin bertemu dan melihatnya.

Ya! Mungkin aku memang harus bicara dengannya. Aku harus menelponnya. Tanganku meraih handphone yang tergeletak di sampingku. Aku langsung menghubunginya.

“Hallo?” terdengar suara di seberang sana.

“Kakak ya?” tanyaku memastikan.

“Eh, Dhea. Ada apa?”

“Kak, Dhea pingin ketemu,” pintaku. “Kakak bisa?”

“Ng... maaf ya, Dhea. Kakak lai sibuk banget. Entar kalau kakak bisa kakak pasti langsung hubungi Dhea.”

“Huh! Lagi-lagi gak bisa. Kenapa sih kakak gak pernah ada waktu buat Dhea? Kakak gak sayang sama Dhea, ya? Apa kakak mau pacaran sama Dhea karena kasihan aja?” akhirnya aku tidak bisa lagi membendung rasa kecewaku. “Kakak boleh kok mutusin Dhea kalau kakak sudah bosan sama Dhea. Dhea bisa ngerti kok, Dhea ini hanya cewek SMA yang gak ada apa-apanya. Dhea gak cantik, gak seksi dan gak dewasa seperti teman-teman cewek di kampus kakak.”

“Dhea kenapa sih? Kok hari ini Dhea gak kayak biasanya?”

“Mungkin Dhea gak kayak biasanya di mata kakak. Itu karena Dhea cemburu, kak. Dhea cemburu sama teman-teman kakak, sama keluarga kakak, sama orang-orang di sekeliling kakak, orang-orang yang bisa berada di dekat kakak. Gak kayak Dhea yang hanya bisa terus-terusan berharap kakak nelpon Dhea, ngajak ketemu hingga Dhea bisa berada di dekat kakak. Kakak gak pernah ngerti perasaan Dhea. Kakak hanya memikirkan diri kakak sendiri. Ini ngebikin hati Dhea sakit kak,” kubiarkan air mata mengalir dan menetes membasahi wajahku.

“Maaf, kakak gak pernah menyadari semua itu. Maaf kalau kakak selalu memikirkan diri kakak sendiri.

“Dhea gak butuh maaf,” ujarku sambil menahan isakan yang mulai mengiringi air mataku.

“Dhea....” ku dengar suara lembut kak Frans yang selalu meluluhkan hatiku. “Kakak gak mau bikin Dhea nangis. Sekarang terserah Dhea mau gimana. Dhea yang pegang keputusan. Sekali lagi kakak minta maaf.”

Dhea pingin kakak hanya melihat Dhea, cukup Dhea. Dhea pingin kakak selalu ada buat Dhea. Ingin sekali rsanya aku mengatakan hal itu, tapi tidak bisa. Aku hanya diam membisu. Rasanya suaraku ini telah hilang tenggelam oleh air mata dan isakanku. Aku memutuskan telpon tanpa bicara apa-apa lagi sama kak Frans. Aku tidak sanggup untuk terus bicara dan mendengar suaranya. Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur hingga akhirnya terlelap.

***

Aku terpaksa memakai kacamata untuk menutupi mataku yang sembab karena menangis semalam. Aku tidak ingin Eldo tahu. Dia selalu menghiburku. Membuatku malu pada diriku yang selalu merepotkannya.

“Kamu ada masalah apa lagi?” tanya Eldo yang ternyata sudah berada di sampingku.

“Gak ada masalah apa-apa kok, Do,” jawabku sambil mencoba tersenyum.

“Jangan bohong! Kalau gak ada masalah kenapa kamu nangis?” tanya Eldo lagi. Ternyata kacamataku ini tidak dapat menipunya.

“Aku gak bohong kok. Lagian siapa yang nangis? Mataku ini sembab karena kelilipan kok,” aku mencoba berkilah.

“Dhea,” desak Eldo memaksaku mengatakan yang sebenarnya.

Aku terdiam menundukkan kepala. “Kamu ini suka ikut campur ya.”

“Terserah kamu mau berpendapat apa tentang aku. Aku hanya gak rela kamu sedih.”

“Kenapa kamu baik banget sama aku, Do? Kenapa perhatian yang aku harapkan dari dia justru aku peroleh dari kamu? Aku kecewa sama dia, Do,” untuk kesekian kalinya aku menangis di hadapan Eldo.

“Katakan semua yang ada di dalam pikiran kamu, Dhea! Agar kamu tenang dan tidak terbebani lagi,” ujar Eldo sambil merangkulku. Belaian tangannya terasa halus di rambutku. Ah... salahkah bila aku merasa nyaman di dekapannya?

“Do, kenapa kamu baik banget sama aku?” tanyaku. “Apa karena kita teman?”

Eldo mengangguk pelan. “Melihat kamu tersenyum adalah kebahagiaan terbesarku. Karena aku sayang kamu.”

“Makasih. Makasih karena sudah menyayangiku. Teruslah menjadi Eldo yang seperti ini! Jangan pernah berubah! Kamu mau janji?”

Eldo mengangguk.

Maafkan aku kak. Aku hanya ingin memperoleh perhatian dan kasih sayang itu. Hal yang sangat ingin ku peroleh dari kakak tapi tidak pernah kakak berikan.

***

Sudah sebulan sejak kejadian itu. Sekarang aku sudah jadian dengan Eldo meski belum ada kepastian mengenai hubunganku dengan kak Frans. Namun kurasa dia sudah melupakanku. Aku sudah mengganti nomor telpon dan handphoneku sehingga kami tidak akan pernah ngobrol nlagi. Tidak akan ada lagi komunikasi di antara kami.

Masa bodohlah dengan semua itu. Toh aku juga akan melupakannya. Sekarang yang harus kupikirkan hanyalah Eldo. Karena dialah orang yang kusayangi.

Sebentar lagi Eldo akan menjemputku. Dia mengajakku nonton konser padi. Aku memeriksa kembali penampilanku. Aku tidak ingin tampil mengecewakan.

“Dhea, kamu sudah cantik kok. Tanpa dandan aja kamu sudah cantik,” puji Eldo yang telah menungguku di pintu kamarku.

“Eldo? Sudah lama?”

“Baru aja,” jawabnya sembari tersenyum. “Yuk berangkat!”

Konser padi malam itu sangat ramai. Rasanya semua anak muda di kota ini berkumpul di sana. Sangking ramainya aku nyaris jatuh karena tertabrak seseorang.

“Maaf,” ujar pria itu.

Kenapa rasanya suara ini tidak asing bagiku?

“Dhea, kamu gak apa-apa?” tanya Eldo yang sangat mencemaskanku.

Aku menggeleng kecil. Aku baru saja hendak beranjak pergi tapi tanganku ditahan oleh pria tadi.

“Kamu Dhea?” tanya pria itu. Aku mengangguk mengiyakan. “Kamu gak ingat suara aku lagi, Dhea? Ini aku, Frans.”

Kata-kata itu nyaris membuatku pingsan. Dia orang yang sangat ingin aku lupakan. Kenapa aku harus bertemu dia?

“Kamu kemana aja sih Dhea? Gak satupun nomor telpon dan handphonemu yang bisa dihubungi.”

“Maaf, aku gak kenal kamu. Tolong lepaskan tanganku!” pintaku dengan hati hancur. “Mungkin kamu salah orang.”

“Gak mungkin, aku yakin kamulh Dhea yang aku maksud. Aku gak mungkin lupa suaramu.”

“Bukan aku, kamu salah orang,” kilahku. Sifat cengengku mulai kumat. Aku merasa mataku mulai panas.

“Kamu apakan Dhea?!” Eldo mencoba melindungiku.

“Dhea, kamu kenal kakak kan? Kamu ingat kakak kan?” kak Frans menatapku. Tak sanggub rasanya aku membohonginya lagi. Aku hanya terdiam tak dapat menjawab. “Ternyata Dhea benar-benar sudah ngelupain kakak. Kakak ngerti kok. Ini semua karena kesalahan kakak juga,” kak Frans berbalik meninggalkanku.

Akhirnya airmataku itu tumpah juga. Ternyata aku tak pernah bisa melupakannya.

“Jadi dia Frans? Dhea masih sayang sama dia kan?” tanya Eldo padaku. “Sudahlah! Jangan pedulikan aku! Aku gak apa-apa kok. Kejar dia, katakan rasa sukamu itu!”

“Eldo...” tak kusangka dia sangat menjaga perasaanku. Sampai-sampai dia rela mengorbankan perasaannya.

“Ayo sana, temui dia. Orang yang benar-benar kamu sayangi.”

Eldo, kenapa kamu baik sekali sama aku? Aku menyeka air mataku. Aku tak ingin tampak lemah di hadapan Eldo. “Makasih, Do. Kamu baik banget sama aku.”

Eldo tersenyum menatapku. Aku beranjak meninggalkannya dan berlari untuk meraih orang yang ku sayangi itu.

“Kak, Dhea gak pernah ngelupain kakak. Dhea selalu sayang sama kakak... perasaan ini gak bakal pernah pudar,” ujarku mengakui semua di hadapan kak Frans.

“Dhea, kakak juga sayang sama Dhea. Kali ini kakak gak bakal bikin Dhea nangis lagi,” janjinya sambil mendekapku.

Padi mulai menembangkan lagu ‘SIAPA GERANGAN DIRINYA’ seakan tahu perasaan kami saat ini. Perasaan yang penuh cinta.

“Aku baik sama kamu karena aku sangat sayang sama kamu Dhea,” bisik Eldo pad dirinya sendiri sambil terus menatap senyum Dhea. Senyum yang hanya dapat diciptakan oleh kehadiran Frans. “Jaga Dhea untukku Frans. Karena hanya ada kamu di hatinya.”

Eldo membalik badannya. Melangkah meninggalkan tempat di mana dia telah membuat keputusan terbaik dan terberat dalam hidupnya.

“Jadi orang baik itu ternyata gak mudah ya...” bisik Eldo pada dirinya sendiri.

Cukup Ada Aku di Hatimu selesai

Belenggu Itu

BRUKK!!!

Mika menghantam mejaku. Kepalan tangannya terpampang tepat di depan wajahku yang tertelungkup di atas meja. Tatapan matanya menyiratkan apa yang ada di dalam kepalanya.

“Ada apa?” tanyaku polos.

“Kenapa kamu nolak Rei?”

“O...” aku meng-o sambil mengangkat wajahku. “Malas aja.”

“Malas? Apa kamu selalu malas buat nerima cowok?” tanyanya kesal. Aku hanya diam saja. “Kamu tuh sadar gak sih kalau kamu selalu nolak cowok yang nembak kamu. Sampai-sampai ada yang beranggapan kalau kamu tuh kelainan.”

“Ya suka-suka mereka dong mau beranggapan seperti apa. Yang penting akunya gak kayak gitu,” sungutku kesal.

“Lagi-lagi kamu ngejawab kayak gitu. Emang kenapa sih kamu gak mau pacaran?”

“Malas, Ka. Bukannya gak mau.”

“Ya-ya. Kenapa?”

“Gak kenapa-napa kok, Ka. Sudahlah jangan ngebahas soal itu lagi, masih banyak kok hal lain yang bisa kota bahas. Oke?” pintaku.

***

“Huh!” aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Rasanya lega sekali bisa lepas dari runtutan pertanyaan Mika. Aku benar-benar malas untuk pacaran karena menurutku itu gak penting. Yang namanya cinta itu gak ada. Cinta itu hanya karangan dari para penganut paham romantisme.

“Ning, kamu di dalam ya? Boleh Mas masuk?”

“Mas Dimas ya? Masuk aja!” jawabku dari dalam kamar.

Mas Dimas masuk. Mas Dimas ini kakak lelakiku. Dialah orang yang paling dekat denganku. Orang yang selalu mendengarkan dan berbagi keluh kesah denganku.

“Kenapa mas? Kok kayaknya kusut banget? Ada masalah lagi ya di bawah?” tanyaku sambil duduk di tepi kasur.

Mas Dimas mengangguk. “Mas bingung, Ning. Rasanya sudah bosan banget tinggal di rumah ini. Tiap hari selalu aja ngedengarin orangtua kita ribut.”

“Mas jangan ngomong kayak gitu dong! Ning bisa bertahan sampai sekarang khan karena ada mas Dimas,” ujarku.

Sebenarnya alasan utama aku malas pacaran adalah karena sejak kecil aku selalu saja menyaksikan kedua orangtuaku rubut karena hal-hal sepele.

“Kenapa lagi?”

“Ibu bilang kalau bapak selingkuh dengan karyawan kantor.”

Aku memejamkan mataku. Kenapa ibu selalu berprasangka buruk pada bapak?

“Kenapa sih mereka seperti anak kecil terus? Kenapa sih mereka gak pernah mikirin perasaan kita sebagai anaknya? Apakah mereka pikir apa yang telah mereka lakukan itu pantas untuk tampak oleh kita?”

“Mas, kita jangan sampai kayak bapak sama ibu ya! Janji ya kalau kita sudah dewasa nanti kita gak akan kayak mereka!” pintaku.

Mas Dimas mengangguk. Beberapa hari belakangan ini mas Dimas tampak lebih kurus. Matanya juga tambah sayu.

“Mas sakit?” tanyaku.

“Gak kok,” jawab mas Dimas sambil menggeleng.

“Kenapa pucat gitu?”

“Cuma kurang tidur. Kamu gak usah cemas gitu!”

“He-eh,” aku mengangguk pelan. “Aku cuma punya mas Dimas. Aku gak mau mas kenapa-napa.”

“Ya-ya. Mas ngerti,” ujar mas Dimas sambil mengacak-ngacak rambutku.

***

“Mau gak jadian sama aku?”

“Maaf,” ujarku pada Tio siang itu. Sebenarnya Tio itu anak yang baik. Dia pintar dan juga siswa teladan. Tapi aku sudah terlanjur tidak mempercayai keberadaan cinta. “Aku bukan cewek yang pantas buat kamu.”

Aku melangkah pergi meninggalkan Tio yang hanya diam mendengar jawabanku. Seperti biasa. Mika langsung menemuiku dan bertanya panjang lebar.

“kenapa lagi Ning? Apa lagi sih kurangnya Tio?”

“Dia cowok sempurna kok. Sudah pntar, cakep, baik, teladan lagi,” jawabku. “Dia gak punya kekurangan apapun.”

“Jadi kenapa kamu nolak dia?”

Aku hanya diam. Malas menjawab pertanyaan yang hanya itu-itu saja.

“Sebenarnya gimana sih tipe cowokmu itu?”

“Gak ada,” jawabku sambil menggeleng.

“Kamu ini kenapa sih? Bisa gak kamu tuh nerima kehadiran cowok lain dalam diri kamu selain mas Dimasmu itu?”

“Kemu kenapa sih, Mik? Kamu itu selalu ikut campur masalah aku. Penting banget ya buat kamu aku ini jadian sama siapa?” ujarku mulai kesal dengan tingkah Mika yang menurutku sudah melampaui batas privasi.

“Ning, aku tuh cuma pengen kamu gak dianggab aneh sama temen-temen.”

“Mesti berapa kali aku bilang. Itu terserah mereka. Yan penting aku gak kayak gitu,” ujarku. “Sekali lagi aku minta, jangan campuri urusanku!” seruku kemudian pergi meninggalkan Mika.

“Terserah. Kalau itu yang kamu mau bakal aku turuti. Aku gak bakal mau tau sama urusan kamu lagi.”

Aku tidak memperdulikan perkataan Mika. Aku mempercepat langkahku agar bisa cepat sampai rumah.

***

Sesampainya di rumah lagi-lagi aku mendengar bapak sama ibu ribut. Aku melangkah cepat agar tidak perlu mendengar keributan itu lebih lama lagi.

“Ningsih, kenapa baru pulang?” tanya ibu saat aku lewat di depan mereka.

“Tadi ada perlu sama teman, Bu.”

“Huh! Kalian itu kakak beradik sama saja. Kalau ditanya suka menjawab sesuka hati. Kakakmu itu pergi gak jelas kemana. Baru pulang sudah pergi dengan teman-temannya. Seperti berandalan saja. Kalau dibilangin gak pernah mau dengar.”

Aku hanya diam tidak menjawab perkataan ibu. Kalau ibu punya masalah pasti yang lain kena rembesan. Seperti sekarang. Biasanya ibu gak pernah perduli aku pulang jam berapa, mas Dimas mau kemana dan pergi sama siapa. Kalau sekarang aku jawab pasti yang lain-lain juga bakal kena rembesan.

Aku pergi ke kamarku tanpa memperdulikan ibu yang terus ngomel. Ku tutup pinti kamarku itu rapat-rapat agar suara ibu tidak terdengar. Tanpa sadar aku menghela napas.

“Mas Dimas pergi kemana ya?” pikirku. “Telpon aja ah!”

Ku raih ponselku dari dalam tas. Baru saja aku mau menelpon, mas Dimas sudah menelponku lebih dulu.

“Mas Dima, mas di mana?” tanyaku cepat.

“Lagi di jalan sama teman. Ning, ibu sedang marah-marah di rumah.”

“Iya, Ning juga sudah tahu. Ning baru aja nyampe,” ujarku.

Mas dimas terdiam beberapa detik. “Ning...” ujarnya akhirnya.

“Apa?” tanyaku.

“Kamu baik-baik di rumah ya! Kamu harus jadi cewek yang tegar, jangan kayak mas!”

“Mas Dimas ngomong apa sih? Mas kan selalu bikin Ning semangat. Tegar. Mas jangan ngomong kayak gitu dong!”

“Maafin mas ya, Ning...”

Mas Dimas mematikan ponselnya.

Mas Dimas kenapa sih? Kok ngomongnya ngawur kayak gitu? Pikirku.

“Ning! Kamu mau ganti baju sampai kapan? Cepat turun lalu makan!” teriak ibu dari lantai satu.

“Iya, bentar lagi.”

***

Sudah tiga hari mas Dimas gak pulang. Dan selama itu pula mas Dimas gak nelpon aku. Padahal biasanya kalau dia gak pulang sehari saja dia pasti nelpon aku. Tapi sekarang jangankan buat nelpon aku, ponselnya aja gak pernah aktif setiap kali aku hubungi. Perasaanku jadi gak enak. Palagi kalau ingat kata-kata mas Dimas waktu itu. Kata-katanya seolah-olah mau pergi jauh ninggalin aku.

Ah! Gak mungkin mas Dimas ninggalin aku. Mas Dimas pasti pulang. Karena aku gak mau kehilangan mas Dimas.hanya dia keluarga yang memperhatikanku. Yang sayang sama aku.

Segerombola cewek melintas di depanku. Ah! Itu Mika. Dia ada di antara cewek-cewek itu. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Mika, mungkin dia masih marah karena aku sudah bicara kasar padanya.

Tanpa mas Dimas, tanpa Mika, aku merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Ah... biarlah. Toh selama ini aku memang sendiri. Sebelum bapak membawa mas Dimas anak istri pertamanya ke rumah, sebelum aku bertemu Mika sebelum aku bertemu mereka berdua toh aku memang hanya sendiri.

Aku melangkah menuju kelas. Aku bosan mendengar sorak-sorai orang di sekelilingku. Apalagi untuk mengakui kalau aku ini sendirian di antara mereka yang ramai.

***

Aku sedikit bingung. Tiba-tiba saja supir bapak menjemputku ke sekolah. Katanya ada sesuatu yang terjadi. Aku sama sekali tidak mengerti. Mengapa harus menjemputku pada jam sekolah? Mengapa tidak menungguku pulang saja dulu?

Di depan rumah ada beberapa polisi dan sebuah ambulance. Aku tambah tidak mengerti. Ada apa sebenarnya? Kenapa harus ada polisi dan ambulance?

Aku langsung melompat turun dari mobil daat sampai di depan pintu. Di dalam terdengar suara isak tangis. Mataku tertuju pada benda yang tertutup kain di tengah ruangan.

“Kamu yang tabah ya, Ning!” seseorang yang ku kenal berkata lembut padaku. Dia mbak Dewi. Mantan pacar mas Dimas.

“Mbak Dewi?” tanyaku. “Itu siapa?”

Mbak Dewi sama sekali tidak menjawab. Dia hanya tertunduk sambil menyeka matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

“Aku bersimpuh di depan jenazah itu. Tanganku gemetar saat membuka kain yang menutupi wajah jenazah.

Bagai tersambar petir rasanya saat aku melihat wajah yang tertutupi itu.

“MAS DIMAS?!”

Tanpa sadar air mata mengglinangi wajahku. Suara di sekelilingku membuat kepalaku sakit. Aku merasa pandanganku mulai kabur. Dan aku tak ingat apa lagi yang terjadi setelah itu.

***

Saat sadar aku sudah berada di kamarku. Mbak Dewi terduduk di tepi ranjangku.

“Mbak, ini semua hanya lelucon mas Dimas kan?” tanyaku masih tak percaya.

“Ning, kamu harus tabah!” ujar mbak Dewi mencoba tersenyum di balik kesedihannya.

“Ini mimpi mbak. Cuma mimpi,” ujarku histeris. “Kalau nanti aku bangun aku akan ketemu sama mas Dimas. Dan mas Dimas bakal nyambut aku dengan senyumnya. Dia akan selalu ada di dekatku mbak. Ini hanya mimpi. Aku ingin cepat-cepat bangun agar semua mimpi buru ini berakhir,” aku berteriak sambil terus menangis seperti orang gila.

“Ning, kamu harus bisa nerima kenyataan bahwa...” mbak Dewi tidak meneruskan kata-katanya. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

“Ini gak mungkin terjadi mbak...” isakku. “Mas Dimas gak mungkin pergi.”

Mataku menangkap sosok ibu dan bapak yang berdiri di pintu kamarku.

“Dewi, kami ingin bicara dengan Ningsih. Kamu bisa keluar sebentar?” pinta ibu.

Mbak Dewi hanya mengangguk kemudian beranjak meninggalkan kamarku. Ibu dan bapak duduk di sampingku.

“Begini Ning, mungkin ini terlalu cepat untuk kami sampaika. Tapi mau bagaimana lagi? Ibu dan bapak sudah tidak cocok lagi,” ujar ibu tenang.

“Maksudnya ibu sama bapak mau cerai?” tanyaku tak percaya.

Ibu mengangguk. “Sekarang kami menyerahkan semua keputusan di tangan kamu. Kamu mau ikut siapa itu hak kamu.”

“Iya, Ning. Sebenarnya kami tahu kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini sama kamu. Tapi masalah ini harus segera di selesaikan,” ujar bapak pula.

Aku tidak bisa menjawab. Baru saja tadi aku mendapat kabar kalau mas Dimas meninggal. Sekarang aku harus sudah menerima kabar kalau ibu sama bapak mau cerai. Kenapa masalah ini beruntun menyerangku?

“Ning, kamu gak harus mengambil keputusannya sekarang. Kamu masih punya waktu sampai besok.”

Aku tetap tidak menjawab. Ibu dan bapak beranjak meninggalkan kamarku. Aku tidak habis pikir, kenapa aku harus mendapat cobaan yang sebegitu besarnya? Apa aku akan sanggub menerima kenyataan ini? Ah... andai ini benar-benar hanya mimpi pasti aku tak perlu menderita begini.

***

Akhirnya berita mengenai kematian mas Dimas terliput oleh wartawan. Ternyata mereka benar-benar tidak mau mensia-siakan berita yang menyangkut keluarga pemilik agency model dan rumah produksi terbesar saat ini. Ibu dan bapak menyangkal anggapan para wartan kalau mas Dimas bunuh diri. Mereka tetap bersikeras kalau apa yang terjadi hanyalah kecelakaan. Padahal aku yakin sekali kalau mas Dimas sebenarnya bunuh diri. Itulah alasan mengapa dia berkata yang aneh-aneh saat bicara denganku untuk yang terakhir kalinya.

Sayangnya aku tidak bisa menjadi seperti apa yang mas Dimas harapkan. Aku meneguk obat yang ku ambil dari kotak obat.

“Mas, aku gak mau ikut ibu maupun bapak. Mereka gak pernah mau ngertiin perasaanku. Aku mau ikut mas, karena hanya mas dimas yang mau ngertiin perasaanku selama ini.”

Aku merasa kalau badanku mulai berkeringat. Kepalaku pusing. Napaskupun sesak. Aku merasa kalau tubuhku mulai lemas. Bahkan untuk sekedar membuka mataku saja aku tidak sanggub. Aku mulai merasa sakit untuk bernapas. Rasanya paru-paruku mau meledak. Aku juga merasa kalau detak jantungku mulai memelan. Obatnya sudah mulai bereaksi. Sebentar lagi aku akan meninggal dan bertemu mas Dimas. Dan besok pagi ibu dan bapak akan menemukan anak perempuannya meninggal bunuh diri dengan cara meneguk obat penurun gula darah. Semoga mereka bisa jadi lebih dewasa setelah meninggalnya aku.

Aku merasa kalau napasku telah berhenti. Rasanya sakit sekali. Tapi tubuhku meringan. Aku merasa kalau aku terbang meninggalkan ragaku dan tertiup angin entah kemana. Aku merasa kalau diriku mulai menghilang dari dunia ini. Aku merasa amat bahagia karena akan lepas dari segala masalahku.

Mungkin aku adalah orang yang kalah dari kenyataan dunia. Tapi tak apalah. Toh aku merasa damai dengan segala kekalahan dan keputusan yang ku ambil ini.

Belenggu Itu selesai

Minggu, 21 September 2008

Cerpen Maya

Aku kembali menghapus deretan kata-kata di monitor komputerku. Otakku mulai berputar lagi untuk mencari ide yang lebih menarik. Aku harus menyelesaikan cerpen ini, tapi waktu yang ku punya hanya tinggal dua minggu lagi. Aku semakin gusar dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang terjepit.

Aku Maya Astia. Seorang pelajar SMA yang gemar menulis. Tapi itu bukan berarti aku pandai menulis.

Kali ini aku ingin mencoba menuangkan kegemaranku dalam suatu lomba yang diadakan oleh sebuah majalah remaja. Aku harus benar-benar memutar otak karena cerita yang kubuat harus bertema remaja. Kehidupan remaja yang belum sepenuhnya kumengerti.

Malam semakin larut. Aku yang semakin lelah mencari ide cerita untuk cerpenku pun juga ikut terlarut dalam dunia mimpi.
***
“Pagi, Maya...” sapa Desti.

“Pagi juga, Dest,” jawabku lesu dengan mata yang masih lima watt.

“Kenapa? Tidur larut lagi ya?” tanya Desti sambil meletakkan tasnya ke atas meja di sebelahku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Masih belum dapat ide cerita juga?” tanyanya setelah duduk di sebelahku. Akupun mengangguk pelan.

“Apa susah sekali ya mencari ide cerita yang bagus itu?” tanyanya lagi. “Memangnya cerita yang bagus itu menurutmu cerita yang seperti apa sih? Siapa tahu aku bisa kasih masukan.”

Aku berpikir sejenak. Selama ini aku tidak pernah punya kriteria khusus untuk menentukan seperti apa cerita yang bagus itu. Selama ini aku hanya berpikir bahwa cerita yang bagus itu cerita yang dapat menyentuh hati pembacanya. Dalam bentuk apapun.

“Seperti apa?” Desti mengulang pertanyaannya karena aku tak juga menjawab.

“Ah! Maaf,” jawabku tersadar kalau Desti masih menunggu jawabanku. “Menurutku cerita yang bagus itu cerita yang bisa menyentuh hati pembacanya.”

“Itu saja? Tidak ada yang lain? Kamu yakin, May?”

“Kurasa, ya,” jawabku sedikit ragu.

“Kalau gitu maaf. Aku tidak bisa membantumu. Karena menyentuh atau tidaknya suatu cerita itu relatif. Tergantung pada pembacanya,” ujar Desti.

“Itu sebabnya sangat sulit bagiku untuk menulis cerpen ini. Karena cerpen ini untuk remaja. Remaja yang punya banyak karakter.”

“Berjuang lebih gigih ya!” seru Desti mencoba memberiku semangat. “Kalau Maya pasti bisa.”

Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata itu. Hanya Destilah yang mau memberiku semangat. Teman yang selalu mencoba membesarkan hatiku.
***

Hari ini aku harus bisa menyelesaikan cerpen ini. Aku tidak boleh mengecewakan Desti yang percaya padaku. Aku akan membuat cerpen yang bisa menyentuh hati pembacanya. Cerpen yang bagus.
***
Aku mulai mengetik. Menuangkan kata-kata yang akan kurangkai menjadi cerpen itu.
Di luar sana malam kian larut. Tapi tuts-tuts key board ku masih menghentak mengiringi kesunyian malam.
Malam ini aku akan tidur larut lagi. Tapi besok pagi aku akan memperlihatkan cerpenku pada Desti. Dialah orang pertama yang akan membaca cerpenku.
***

Semalam aku tidur terlalu larut. Lebih larut dari biasanya. Dan hal itu membuatku bangun terlambat. Untung saja aku masih diizinkan masuk oleh guru piket. Dan untung saja guru yang mengaja rtidak terlalu galak sehingga aku masih bisa mengikuti pelajarannya meskipun harus menyelesaikan beberapa soal sebagai sanksinya.

“Dest, aku punya kabar gembira,” biskku saat sampai di kursi.

“Kabar gembira apa?” tanyanya penasaran.

“Nanti saja saat istirahat,” ujarku.

“Benar ya!”

Aku mengangguk pelan.

Saat jam istirahat Desti langsung menagih janjiku.

“Apa kabar gembiranya?” tanya Desti penasaran.

“Hm... penasaran ya?”

“Cepat dong, May! Apa kabar gembiranya?” desak Desti.

“Ini,” ujarku sambil menyodorkan cerpenku.

“Ini?” bisiknya tak percaya. “Cerpennya sudah jadi?”

Aku mengangguk.

“Benarkan kataku. Kalau Maya pasti bisa.”

“Coba kamu baca. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang cerpenku ini.”

“Baik. Akan ku baca sekarang juga.”

Desti mulai membaca cerpenku. Aku jadi merasa deg-degan. Kira-kira apa komentar Desti? Baguskah cerpen yang kubuat ini?

Aku memperhatikan Desti yang sedang membaca cerpenku. Menunggunya selesai membaca dan berkomentar.

“Maya,” ujarnya sambil menyerahkan naskah cerpen itu poadaku. “Kenapa kamu buat cerita yang sedih begini?” cerpen ini membuatku ingin menangis,” ujarnya sambil menyeka air matanya yang mulai keluar.
Aku masih diam menunggu komentar apa lagi yang akan Desti ucapkan.

“Cerpenmu sedih sekali. Tapi ini cerpen paling bagus yang pernah ku baca.”

“Benarkah?” tanyaku nyaris tak percaya. “Kamu tidak bohong kan?”

Desti menggeleng. Aku merasa sangat senang. Cerpenku dipuji oleh teman yang sangat aku hargai.

Aku sangat percaya akan apa yang Desti katakan. Desti tidak mungkin bohong. Ah... akhirnya aku tidak mengecewakannya. Aku tidak sabar lagi ingin mengirimkan cerpenku ini.

***

Aku melangkah menuju kantor pos. Aku akan mengirim cerpenku. Segera. Aku terlalu bahagia sampa-sampai tidak menyadari ada pria yang melintas di depanku. Kami bertabrakan hingga bawaanku terjatuh.

“Maaf,” ujarku sambil mengumpulkan bawaanku yang sudah jatuh berserakan.

Pria itu tidak menjawab.dia langsung membantuku mengumpulkan bawaanku.

“Kamu ikut lomba cerpen ini ya?” tanya pria itu saat melihat alamat yang tertera pada amplop cerpenku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Boleh ku baca?” tanya pria itu.

Aku terdiam. Mengapa tidak? Toh tadi Desti sudah memuji cerpenku ini.

“Boleh?” tanyanya.

“Ya. Silahkan.”

“Terima kasih.”

Pria itu mulai membaca cerpenku. Sama sekali tidak tampak ekspresi keluar dari raut wajahnya kecuali kerutan di dahinya. Tak lama pria itu menyerahkan kembali cerpenku.

“Tidak menarik,” ujar pria itu datar. “Terlalu pasaran dan dibuat-buat. Kesannya kamu ingin menyentuh hati pembaca tapi jadinya justru sebaliknya, membuat pembaca bosan.”

Aku benar-benar terkejut mendengar komentar pedasnya yang sangat bertentangan dengan apa yang telah Desti katakan. “Kamu tahu apa sih tentang cerpen? Mau menjatuhkan semangatku?”

“Aku hanya berkomentar sesuai dengan apa yang aku rasakan. Apa salah?”

“Kamu hanya sok tahu!”

“Terserah kamu mau bilang apa,” ujarnya masih dengan tenangnya. “Saranku, jangan buat cerita dengan mengandalkan khayalan saja. Karena khayalan saja tak akan pernah cukup untuk menghidupkan suatu cerita. Cobalah membuat cerita dengan melihat dirimu. Sebenarnya dalam diri kita tertulis cerita yang sangat menarik. Dan lagi, jangan terlalu terpengaruh dengan penulis lain! Jadilah dirimu sendiri!”

Rasanya aku ingin menangis saja mendengar kata-kata pria itu. Dia menghinaku. Pria yang baru pertama kali kutemui dan tak kukenal telah menghujamku dengan kata-kata yang amat dalam.

“Kamu itu sangat menyebalkan! Kamu itu sok tahu!” makiku kesal sambil berlalu meninggalkannya.

“Siapa sih dia? Sok sekali. Baru pertama kali bertemu sudah memberi kesan yang buruk,” sungutku dalam hati.
Akhirnya aku sampai juga di kantor pos. Tapi entah mengapa aku jadi kepikiran dengan kata-kata pria tadi. Kata-katanya benar-benar membuatku kecut. Aku berbalik meninggalkan kantor pos dan mengurungkan niatku untuk mengirim cerpenku ini.

Aku akan menanyakan pendapat Desti untuk yang kedua kalinya tentang cerpenku ini.

***
“Sudah dikirim cerpennya?” tanya Desti saat bertemu denganku keesokan harinya. Aku hanya menggeleng.

“Lho? Kenapa?” tanya Desti heran.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Desti itu.

“Apa benar cerpenku sebagus yang kau katakan itu?”

“Kenapa nanya seperti itu? Cerpenmu itu sangat bagus kok.”

“Tapi kemarin...”

“Kemarin memangnya kenapa?” tanya Desti bingung.

“Kemarin ada seorang pria yang mmbaca cerpenku, lalu dia memberi komentar yang sangat bertentangan denganmu. Dia...” aku menceritakan semua kejadian kemarin pada Desti seolah-olah kejadian itu terulang kembali. Desti mendengarkanku sambil sesekali menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Dia bilang begitu?” tanya Desti memastikan setelah aku selesai bercerita padanya.

Aku mengangguk kecil. “Apa benar begitu?”

“Tentu tidak. Ceritamu sangat bagus.”

“Kumohon jujurlah!” pintaku. “Anggap saja sekarang kamu bukan temanku. Anggap saja kamu itu seorang komentator yang tidak mengenalku.”

“Maya...”

“Kumohon...”

Desti mengangguk kaku.

“Ternyata benar. Aku ini tidak berbakat ya...”

“Tidak. Kamu berbakat kok.”

“Sudah! Jangan membuatku berharap lebih lagi,” seruku kemudian pergi meninggalkan Desti. Aku kecewa. Kesal. Dan marah pada diriku ini.

***

Aku terdiam sendiri di kamarku. Aku benar-benar kecewa. Kata-kata telak itu pun mendapat pengakuan dari sahabatku. Aku ini benar-benar mengecewakan. Di tengah lamunanku tiba-tiba saja handphone ku bunyi. Ada sms masuk. Dari Desti. Aku membaca sms itu dengan malas. Desti mencoba memberiku semangat. Lagi-lagi dia bilang ‘kalau Maya pasti bisa’. Aku jadi teringat pada kata-kata pria itu. ‘jangan membuat cerita dengan hanya mengandalkan khayalan. Tapi cobalah membuat cerita dengan melihat diri kita sendiri karena dalam diri kita ada cerita yang sangat menarik’.

Semangatku kembali bangkit. Baiklah kalau begitu. Aku akan membuat cerita yang sangat bagus agar Desti tidak kecewa dan agar pria itu tahu kalau aku bisa membuat cerita yang sangat menarik.

Aku akan membuat cerita dengan melihat jauh pada diriku. Akan kuselesaikan. Aku akan beritahu Desti kalau aku tidak akan menyerah.

Malam ini untuk kesekian kalinya aku akan tidur larut. Tapi tidak apalah. Toh besok hari minggu.

***

Setelah dua malam berusaha akhirnya aku bisa menyelesaikan cerpen yang menurutku sangat bagus. Aku akan mengirimnya hari ini sepulang sekolah.

Aku melangkah ke kantor pos. Untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini aku tidak akan membawa kembali cerpenku pulan. Aku akan mengirimnya. Tekadku sudah bulat.

Di jalan aku tidak bertemu dengan pria itu. Tapi nanti bila aku bertemu lagi dengannya aku akan memaksanya membaca cerpenku ini. Agar dia tidak lagi menganggab remeh aku.

***

“Kapan pemenang cerpen itu diumumkan, May?” tanya Desti sepulang sekolah.

“minggu ini. Dan majalahnya akan terbit besok,” jawabku. “Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hasilnya.”

“May, aku yakin kamu bisa.”

“Terima kasih. Kamu selalu memberiku semangat. Tapi apapun hasilnya nanti aku tidak akan patah semangat lagi. Kalau gagal aku akan terus mencoba dan mencoba. Melihat lebih dalam lagi pada diriku. Mencari dan menemukan cerita yang tertulis di dalamnya.”

Desti tersenyum simpul mendengar perkataanku.

Sebuah sedan hitam berhenti di samping kami.

“Aku sudah di jemput. Kamu mau bareng?” tawar Desti.

Aku menggeleng kecil.

“Ya sudah. Aku duluan ya, May.”

“Ya,” jawabku sambil melambai padanya.

***

Aku terbangun saat handphone ku berdering.

“Desti? Kenapa juga dia nelpon sepagi ini?”

Aku mengangkat telpon darinya.

“Ada apa, Dest?” tanyaku masih dalam keadaan mengantuk.

“Kamu sudah baca majalahnya?” tanya Desti. Suaranya keras sekali. “Nama kamu. Nama kamu, May. Nama kamu ada di dalam majalah itu. Kamu menang. Juara satu.”

“Ha??” responku tak percaya. “Kamu masih mimpi ya?”

“May, aku serius. Kamu harus ke kantor redaksi sekarang. Kamu harus teken kontrak untuk menulis cerpen di sana!”

“Kamu serius?” tanyaku. “Baiklah. Aku segera kesana.”

Aku langsung berangkat menuju redaksi. Benarkah apa yang telah di katakan Desti?

Sesampainya di redaksi aku dan Desti harus menunggu selama dua jam. Saat giliranku di panggil Desti menemaniku memasuki ruangan. Betapa terkejutnya aku saat melihat pria yang duduk di ruangan itu. Dia orang kejam yang tidak tahu sopan santun dan telah menghina cerpenku!

“Kamu kenapa bisa ada di sini?”

“Aku bekerja di sini. Menangani bagian cerpen. Termasuk perlombaan ini,” jawabnya datar. “Ku akui kalau cerpenmu ini cukup menarik. Tapi jangan bangga dulu karena masih ada beberapa bagian yang menurutku masih belum pas dan harus di perbaiki.”

“Kamu ini, benar-benar menyebalkan, ya. Kamu itu selalu mencari kesalahan orang lain,” sungutku jengkel.

“Ya... tapi aku senang kamu mau mendengarkan saranku.”

“Cerpen Maya memang selalu bagus,” ujar Desti.

“Ya, cerpen yang diambil dari kehidupan Maya yang maya,” ujar pria itu. “Maya. Mulai hari ini suka atau tidak suka kau harus terbiasa dengan kritikanku karena kita akan bekerja sama menangani bagian cerpen. Oya! Namaku Adrian,” ujarnya sambil menjabat tanganku.

“Ya, kuharap aku bisa tahan. Asalkan kau tidak membuatku terlalu kesal,” ujarku sambil menerima jabatan tangannya.

“Dia tersenyum. Sangat manis. Itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Tampaknya umurnya tidak terlalu tua. Dia masih bisa dikatakan terlalu muda untuk mendapat bagian di redaksi ini.

“Ternyata kamu lumayan cakep juga, ya,” celutuk Desti membuat wajahnya memerah seperti tomat.

“Semoga kami bisa bekerja sama,” aku berharap di dalam hati.

***Cerpen Maya selesai***