Kamis, 09 Oktober 2008

Takkan Berakhir dengan Indah

“Maaf ya,” kata-kata itu kembali harus aku dengar. “Aku ada latihan basket. Sekali lagi maaf...” ujar Qhiyan sambil menyatukan kedua telapak tangannya ke atas.

“Gak pa-pa kok,” jawabku seperti biasanya sambil tersenyum simpul. “Lagian aku kan bukan anak kecil yang gak bisa pulang sendiri.”

“Makasih ya, Crish. Kamu selalu mau ngertiin aku,” ujarnya sambil menggenggam tanganku. “Aku pergi dulu ya,” Qhi pun berbalik dan melangkah pergi.

Aku mengambil tasku, kemudian pergi ke luar kelas yang telah kosong itu. Aku menuruni tangga sambil memperhatikan halaman sekolah yang becek diguyur hujan.

Sekolah benar-benar telah sepi. Hanya tampak beberapa anak basket yang sedang latihan di aula. Aku berhenti di jendela ketika melihat sosoknya berlari di tengah lapangan sambil menerpa hujan yang turun tanpa belas kasihan menuju aula. Dia Qhiyan, pacarku yang tadi telah membatalkan janji untuk pulang bareng. Kami sudah jadian sejak semester lalu. Dia menyatakan perasaannya disaat upacara penerimaan siswa baru. Dia merebut mic dari tangan ketua osis yang sedang membacakan kata sambutan. Dia mendapat hukuman atas tindakannya itu.

Qhi melambaikan tangannya pada teman-teman sesama anggota basketnya saat telah sampai di depan aula. Dia selalu begitu. Seperti anak kecil dan tidak pernah berubah.

“Hai, Crish,” sapa Dhea mengagetkanku. Akupun menoleh sekilas. “Jangan tertipu dengan wajah polosnya dong!” serunya.

“Siapa yang tertipu, Dhea?” tanyaku. “Dia gak pernah bohongin aku kok.”

“Tapi dia nyaris selalu ngebatalin janjinya kan?”

“Tapi dia gak bohong, dia selalu jujur terhadap alasan-alasannya itu.”

“Ya-ya, kamu benar,” ujarnya. “Tapi dia pernah melarang kamu jadi menejer basket kan? Padahal kalau kamu jadi menejer basket kamu bisa sering-sering dekat dia dan pulang bareng.”

Aku terdiam mendengar kata-kata Dhea. Itu benar. Aku sendiri tidak tahu apa alasannya melarangku menjadi menejer basket.

“Dia pasti punya alasan yang sulit untuk dijelaskan,” ujarku untuk menenankan diriku sendiri.

“Ya, semoga itu alasan yang menyenangkan,” ujar Dhea pula. “Eh, kamu mau pulang kan?”

Aku mengangguk kemudian meneruskan lankahku menuju locker. Kuambil jas hujanku dan langsung kukenakan. Mataku tertuju pada Dhea yang berada di belakangku. Dia membelakangiku sambil menatap cermin di lockernya. Dia merapikan rambut dan tatanan wajahnya.

“Kamu dijemput lagi ya, Dhea?” tanyaku.

“Hm... gitu deh!” jawabnya dengan nada riang. “Kamu mau bareng?” tawarnya kemudian.

“Oh, gak. Makasih,” tolakku. “Aku gak pengen jadi penonton setia yang melihat kalian bermesraan sepanjang jalan.”

“Hayo ngaku!” serunya sambil berbalik menatapku. Sekarang penampilannya lebih rapi dari sebelumnya. Ada dua pita kecil menyilang di poninya yang menyiratkan kebahagiaannya. “Batinmu tertekan kan? Kamu cemburu karena kamu dan Qhi gak pernah ada waktu buat berduaan seperti aku dan kak Frans.”

“Ngaco kamu. Aku bakalan bosan kalau mesti jalan berduaan sama cowok,” kilahku berbohong. Sejujurnya aku sangat ingin jalan berdua sama Qhi. Selama jadian kami belum pernah kencan sekalipun.

“Aku akan coba untuk percaya kata-katamu itu,” ujar Dhea sambil tersenyum menahan tawanya. “Tapi aku tidak akan marah kalau kamu melanggar kata-katamu itu.”

“Sudah ah! Pergi sana!” usirku sambil mendorongnya keluar. “Kamu sudah dijemput tuh.”

“Oke, bye yach...!” Dhea berlari menuju Frans yang menjemputnya dengan sedan silvernya.

Akupun melangkah pergi meninggalkan sekolah.

***

“Crish, pulang nanti bareng, ya!” pinta Qhi yang tiba-tiba muncul di depan pintu kelasku.

“He-eh,” jawabku sambil mengangguk.

“Kalau gitu sampai jumpa pulang nanti ya,” Qhi pun berbalik kembali ke kelasnya.

“Kencan ya?” goda Dhea yang sedari tadi berada di belakangku. Kontan saja wajahku memerah. “Wah! Kira-kira gimana ya kencan pertamanya Crish?”

“Kamu apa-apaan sih? Ini bukan kencan. Aku cuma pulang bareng aja.”

“Tapi dari sekolah ke stasiun lumayan jauh juga kan? Trus...”

“Trus apa?”

Dhea tidak menjawab. Dia hanya tersenyum penuh arti (yang sangat menjengkelkan).

“Sudah ah!” seruku. “Aku gak mau dengarin kamu lagi.”

***

Aku berjalan sendirian menuju stasiun. Angin sore membuatku terpaksa berulang kali memperbaiki rambutku. Hari ini lagi-lagi Qhi membatalkan janjinya pulang bareng. Alasannya sama, ada latihan basket dadakan.

“Ah... kenapa sepertinya Qhi lebih mementingkan basket dibandingkan aku? Apa sih sebenarnya arti aku dalam dirinya?”

“Gak! Aku gak boleh berpikiran yang enggak-enggak terhadap Qhi. Dia gak bohong sama aku. Dia jujur. Meskipun...” aku mengakhiri kata-kataku itu. Aku gak mau berpikir hal buruk tenteng Qhi. Dia gak pernah berbuat sesuatu yang menyakitiku.

“Basket itu bagian dari hidupnya. Dan aku gak mau jadi penghalang baginya. Lagipula dia kenal basket jauh sebelum aku jadian sama dia.”

***

“Crish, kemaren aku lihat kamu jalan sendirian ke stasiun. Kenapa? Kamu gak jadi pulang bareng Qhi?” tanya Dhea yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelah mejaku.

“Seperti biasa,” jawabku malas kemudian menenggelamkan wajahku diantara tanganku yang menyilang di atas meja.

“Kamu sudah mulai bosan ya sama dia?” tanya Dhea terus terang. “Kenapa gak kamu putusin aja sih?”

Aku menggeleng pelan tanpa mengangkat wajhku. “Gak bisa. Aku...”

“Kenapa gak bisa?” selidik Dhea. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah. “Atau jangan-jangan kamu sama Qhi sudah terlanjur...”

GGDDDEBBUUUKKK!!!

Sebuah kamus kudaratkan tepat di jidat Dhea.

“Kamu mikirin apa sih? Gimana mau ngapa-ngapain? Jalan bareng aja gak pernah.”

Dhea cuma nyengir sambil ngelus jidatnya yang tadi aku timpuk. “Ye! Lagian kamunya ngomong gitu. Wajar dong kalau aku jadi mikir yang enggak-enggak.”

“Dia itu cinta pertama aku. Sekaligus cinta sejati aku.”

“Gak sesuai ama kamu deh. Aku pikir kamu iru bukan cewek pemuja cinta,” ujar Dhea sambil menahan tawa.

“Gak sopan!” sungutku kesal.

“Ye... ngambek nih ceritanya?” ujarnya. “Sorry deh. Aku kan cuma mencoba jujur. Tapi Crish, kalau kamu gak bahagia buat apa dipertahankan?”

“Aku kan sudah bilang, dia itu..”

“Up to lah. Tapi kamu harus tahu kalau kebahagiaan kamu juga penting. Egois sesekali gak pa-pa kok. Kamu jangan terus-terusan memaafkan ataupun memakluminya. Cobalah marah. Cemburu pada basketnya itu. Okey?”

“He-eh,” jawabku singkat. Dhea pun beranjak pergi kembali ke mejanya.

Ah... apa aku harus cemburu? Apa gak pa-pa kalau aku minta dia mengorbankan latihannya untuk mengikuti keinginanku? Mungkin Dhea benar. Selama ini aku selalu mengikutinya. Tidak pernah menentangnya. Padahal hatiku berkata lain.

***

“Crish, hari ini aku gak ada latihan. Pulang bareng yuk!” ajak Qhi ketika aku sedang mengambil sepatuku di locker.

“Ng... boleh-boleh aja,” jawabku mencoba cuek. Aku harap dia tahu kalau aku lagi kesal sama dia. Tapi sepertinya wajahku tidak mendukung semua itu. Aku tampak begitu bahagia.

“Yuk!” ajaknya. Dia menggandeng tanganku. Entah mengapa rasanya hati ini deg-degan dan aku sangat sadar kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus.

Tapi... ah! Semua ini hanya berlangsung beberapa detik saja.

“Qhi, kamu dicariin dari tadi ternyata di sini. Kapten mau merayakan kemenangan kita. Kamu harus ikut ya!” seru temannya saat kami baru keluar dari gerbang.

“Sekarang?”

“Ya sekarang lah. Kapan lagi?”

Qhi menatapku. Aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

“Aku gak pa-pa kok pulang sendiri.”

Qhi tampak enggan.

“Aku gak pa-pa. Kamu sudah di tunggu tuh.”

“Makasih banget ya, Crish..” ujar Qhi sambil mendekap tanganku. “Aku pasti menebus hari ini.”

Aku mengangguk mengiyakan tapi aku tidak berharap dia akan memenuhinya. Ah... akhirnya aku pulang sendiri lagi.

***

Hari ini aku sudah menetapkan hatiku. Aku akan mengakhiri semua ini. Hubungan kami tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Aku akan mengakhirinya dengan indah.

“Qhi, aku mau ngomong,” pintaku. “Temui aku di kantin pulang sekolah nanti!”

“Mau ngomong apa? Kenapa gak sekaranga aja?”

Aku menggeleng pelan. “Aku gak mau ngong sekarang.”

“Ok deh. Nanti aku temui kamu.”

Aku langsung berbalik kembali ke kelasku. Aku gak bisa melihatnya lebih lama lagi. Bisa-bisa aku berubah pikiran. Aku sudah putuskan untuk mengakhiri semua ini.
***

“Kamu serius?” tanya Qhi. Aku sadar bahwa ada kekecewaan pada nada bicaranya. “Kenapa? Padahal aku tulus mencintai kamu. Apa kamu gak percaya sama aku?”

“Aku percaya sama kamu kok,” jawabku jujr. “Tapi aku gak mau kita terus begini...”

“Bukannya selama ini kita baik-baik saja?”

Aku mengangguk pelan. “Kali ini aja. Aku pingin kamu mengikuti keinginanku. Aku mohon! Aku ingin hubungan ini berakhir dengan indah. Tanpa ada dendam maupun benci.”

“Aku ngerti. Aku akan turuti keinginan kamu ini.”

“Makasih...” ujarku kemudian berlari menjauh.

Apakah yang kulakukan sudah benar? Aku tidak mengambil keputusan yang aneh. Sekarang semua sudah ku akhiri dengan indah. Tapi mengapa air mata ini terus mengalir tanpa hentinya? Harusnya aku bahagia...

“Qhi... aku akan tetap mencintaimu, meskipun semua ini telah berakhir,” nisikku.

***

“Pagi, Dhea...” sapaku pada Dhea yang berdiri di puntu kelas membelakangiku.

“Pagi juga...” balas Dhea sambil berbalik. “Jangan senyum gitu! Gak cocok sama mata kamu yang lagi bengkak,” serunya sambil menjitakku.

“Apa hubungannya? Mataku bengkak gara-gara tidur kemalaman kok,” sanggahku berbohong.

“Suara kamu juga serak. Kebanyakan nagis tuh...” ujarnya sambil menjitakku lagi. “Kalau mau bohong belajar dulu! Emang ada apa lagi?”

“Gak ada apa-apa kok, aku...” mataku memanas. Aku terpaksa ingat kejadian kemarin lagi. “Aku lagi senang kok,” aku sadar suaraku terdengar gemetar. Aku mencoba menahan tangisku. Tapi tetap saja mengalir. Menunjukkan rupanya.

“Huh! Aku tah kalau kamu itu memang bodoh dan aku sering bikin kamu nangis. Tapi aku gak rela kalau ada orang lain yang buat kamu nangis selain aku.”

“Bukan...” aku mencoba membela. Tapi suaraku tercekat di tenggorokanku dan tak mau keluar.

Aku merasa ada tangan yang menarikku. Membawaku pergi. Aku mengangkat kepalaku. Meski pandanganku sudah kabur tertutup air mata tapi aku masih bisa mengenali siapa orang yang telah membawaku.

“Qhi?”

Aku menoleh ke arah Dhea yang tersenyum kepadaku sambil melambaikan tangannya. “Be happy!”

Aku menoleh kembali pada Qhi. Baru kali ini aku melihat Qhi dengan wajah serius seperti itu. Dia jadi lain.

“Qhi...” bisikku. Tapi Qhi seolah tidak mendengar. Dia terus membawaku hingga sampai ke tengah lapangan.

“Qhi?” bisikku lagi. Dia melepaskan genggamannya “Ada apa?”

“Mengenai hubungan kita...”

“Bukankah itu sudah berakhir?” tanyaku mencoba tetap bicara dengan suara yang tenang. “Aku harap hubungan kita bisa berakhir dengan indah. Tanpa ada dendam...” aku merasa kalau suaraku mulai tidak terkontrol lagi. Aku merasa bibirku bergetar setiap aku mencoba untuk tidak menangis. “... tanpa ada benci... dan tetap bisa ngobrol seperti biasa.”

“Jangan mengkhayal!” serunya. Aku melihat keseriusan di wajahnya. “Kamu pikir perasaanku padamu bisa berakhir dengan indah? Kau akhiri seperti apa yang ada dalam pikiranmu? Seperti yang kau mau?”

“Aku tidak ingin kita jadi saling tidak enak satu sama lain, makanya aku...”

“Makanya kamu ingin mengakhirinya dengan indah?” potongnya. “Itu tidak mungkin,” sanggahnya. “Cinta sejati tidak akan berakhir dengan indah seperti apa yang kau bayangka.”

Aku hanya bisa tertunduk. Aku tidak berani menatapnya ataupun membelas kata-katanya. Qhi benar, kisah cinta yang berakhir dengan indah hanya ada di novel atau komik saja. Tidak mungkin terjadi di kehidupanku yang nyata.

“Cinta sejati tidak akan berakhir dengan indah, Crish. Karena cinta sejati tidak akan pernah berakhir...”

Entah perasaan apa ini. Ketika mendengar perkataan Qhi itu rasanya cinta yang sempat berguguran di hatiku ini kembali memekarkan kuncupnya. Ah! Bukan. Cinta itu memang belum gugur seutuhnya. Dia masih ada di sana meski aku sudah mencoba menggugurkannya.

Qhi mendekapku. Kami jadi tontonan orang satu sekolah. “Qhi, apa kamu tidak bisa menunjukkan perasaanmu dengan cara yang biasa-biasa saja? Kamu selalu ngebikin heboh pernyataanmu...”

“Untuk orang yang spesial aku gak mau ngasih yang biasa-biasa aja.

Aku sungguh bahagia. Aku takkan pernah mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya. Aku janji Qhi...

***

“Maaf aku telat,” ujar Qhi sambil mencoba menyelaraskan nafasnya.

“Gak pa-pa kok, aku nunggunya juga belum lama,” jawabku.

Ini kencan pertamaku dengan Qhi. Meskipun dia terlambat di kencan pertama ini aku akan tetap menyayanginya.

“Qhi, aku boleh nanya?” Qhi menatapku heran kemudian mengangguk. “Kenapa sih kamu gak bolehin aku jadi menejer basket?”

Sesaat aku melihat wajah Qhi memerah. Dia jadi tampak sanat lucu.

“Kamu itu pacarku. Dan aku... aku gak mau pacaran sama menejerku. Selain itu...” wajah Qhi tampak kian memerah. “Anak basket semuanya anggota Crish fans club. Jadi aku...”

Aku ingin tertawa mendengar semua itu. Tapi aku lega. Ternyata itu adalah alasan yang menyenangkan.

“Aku cuma suka Qhi kok...”

Takkan Berakhir dengan Indah selesai

Tidak ada komentar: