Kamis, 09 Oktober 2008

Perasaanku dan Perempuan Itu

Aku terus memperhatikannya. Perempuan yang berusaha tetap tersenyum saat putus dengan pacarnya. Mencoba menyembunyikan perasaan lukanya. Tapi aku bisa melihat mata yang penuh kesedihan dari balik sibakan poninya. Bahkan terlihat jelas olehku butiran air mata yang menetes saat pacarnya itu berbalik meninggalkannya. Dialah perempuan yang sangat ingin kulindungi. Andai aku bisa menyapanya.

“Lagi-lagi kamu memandangnya dari jauh,” ujar Ryo ikut menyender di jendela kelas.

“Memang gak boleh?”

“Boleh-boleh aja sih. Tapi bukan berarti kamu hanya akan terus-menerus melihatnya dari jendela kelas di lantai dua ini kan? Kenapa tidak diajak kenalan aja?”

“Kamu pikir dia sama kayak cewek-cewek lain yang bisa dengan mudah kamu rayu?” jawabku sedikit ketus. Yah... Ryo memang tergolong idol di sekolah. Dia pintar dalam akademik dan nonakademik. Wajahnya yang memang baby face bisa dengan mudah menggaet hati cewek-cewek yang ada di sekolah ini.

“O ya?” ujarnya tertarik. “Kurasa dia lumayan juga,” gumamnya membuatku jengkel.

“Jangan ganggu dia!”

“Tenang! Aku gak bakalan ganggu dia. Tapi gak ada larangan untuk mendekatinya kan?” Ryo tersenyum seakan memberi isyarat kalau dia ingin menantangku. “Di dunia ini hanya ada kalah dan menang. Kalau kamu lambat terus seperti ini kamu bakal kalah. Jangan nangis di depanku kalau nanti kamu dapat berita aku jadian dengan dia ya!” Ryo melangkah pergi meninggalkan kejengkelan di benakku.

“Candaanmu gak lucu, Ryo!” teriakku.

***

Aku paling tidak suka hari minggu seperti ini. Soalnya aku gak bisa melihat dia. Huh! Hari ini aku bosan sekali. Hal ini membuatku ingin pergi ke luar. Sedikit jalan-jalan akan sedikit mengurangi rasa bosanku.

Saat keluar dari game center aku melihat sesosok perempuan melintas di depanku. Aku mengenalnya. Aku tidak munkin salah. Setiap hari aku selalu memandangnya dari kejauhan. Dia perempuan itu. Mau kemana dia? Aku sedikit penasaran. Kuputuskan untuk mengikutinya.

Meski tubuhnya tampak lemah ternyata jalannya cepat juga. Akhirnya dia berhenti di sebuah jembatan yang sangat besar namun sudah tampak cukup tua. Dia berdiri menatap matahari senja itu. Wajahnya yang disinari matahari senja menambah keanggunannya. Rambutnya indah terurai dihembus angin sore. Sungguh anggun dia di mataku. Bagai sang ratu. Aku terpana oleh dirinya. Ingin sekali menghampirinya.

Dia menunduk seolah ingin melihat apa yang ada di bawah jembatan. Kakinya terangkat. Tidak! Dia akan jatuh!

Aku berlari bergegas menahannya. Jembatan tua itu berguncang seakan akan hancur. Aku meraihnya, menariknya ke belakang. Tapi aku justru kehilangan keseimbangan dan...

BRUK!!!

“Aduh!” ringisku. Sikutku terbentur tepi jembatan. Aku melihatnya terduduk di sampingku. “Maaf, tadi aku melihatmu hampir jatuh, makanya aku...” kata-kataku terhenti saat melihat air mata di wajahnya. “Kamu kenapa? Apa kamu terbentur? Mana yang sakit?”

Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Dia menatapku dengan mata yang penuh air mata. Aku jadi merasa tidak enak. Apa tindakanku salah? Kenapa dia nangis?

“Kenapa?” tanyanya dengan bibir gemetar menahan isak tangis. “Kenapa kamu tolong aku? Aku ingin mati saja.”

Ingin mati katanya? Kenapa? Apa dia punya masalah yang sebegitu rumitnya?

“Mati bukan suatu akhir keputusan,” ujarku.

“Kamu bisa ngomong begitu karena kamu tidak tahu seberapa menderitanya aku hidup. Aku ini gak diharapkan. Aku tidak pernah dianggap. Tidak diperdulikan. Tak seorangpun menyayangiku.”

“Bohong! Kamu tidak seperti itu. Kamu memang tidak pernah tahu, tapi aku sayang kamu.”

Gawat! Aku kelepasan ngomong. Apa dia akan marah padaku?

Dia menatapku penuh tanya. Tapi kemudian ekspresinya kembali seperti semula. “Makasih sudah menghiburku,” ujarnya dingin. “Kamu gak perlu seperti itu.”

“Aku... aku serius. Aku memang suka kamu,” aku meyakinkannya. Aku gak mau dia beranggapan kalau aku ini hanya main-main. “Aku selalu memandangmu dari kejauhan. Ingin sekali menyapamu. Tapi aku takut kamu beranggapan kalau aku gak sopan.”

“Tidak perlu menghiburku lagi!” ujarnya sambil berdiri hendak pergi.

“Ini bukan sekedar menghibur. Aku serius menyukai kamu. Jadi jangan beranggapan kalau gak ada orang yang menyayangi kamu!”

“Aku gak butuh dihibur,” ujarnya sambil berbalik melangkah meninggalkan jembatan ini.

Aku mendekapnya. “Aku serius,” ujarku. “Kamu mau menerimaku?”

Entah mengapa aku merasa kalau tubuhnya gemetar. Apa aku sudah kelewatan dan membuatnya takut?

“Maaf,” ujarku.

“Gak pernah ada orang yang mau menyayangi aku,” ujarnya gemetar. “Jangan mempermainkan aku! Kumohon!” pintanya.

Aku tidak pernah menyangka kalau dia sebegitu tertekannya.

“Aku serius,” ujarku. “Sejak pertama kali bertemu aku sudah menyukaimu. Perasaan itu tiba-tiba saja muncul.”

Dia membalik badannya dan membalas dekapanku. “Terima kasih.”

Aku merasakan air matanya tumpah. Tapi aku tidak akan membiarkan air mata itu menutupi wajahnya lagi. Aku akan membuat wajah itu dihiasi senyum.

“Aku antar pulang ya. Sudah terlalu larut. Gak baik kalau kamu pulang sendirian,” ujarku. Dia mengangguk mengiyakan.

Hari ini membuatku lega. Aku telah mencurahkan semua perasaanku. Sekarang aku tidak akan pernah lagi menatapnya dari jauh.

***

Pagi ini rasanya cerah sekali.sangat sesuai dengan suasana hatiku. Aku menyusuri koridor sambil bersiul pelan. Sesampainya di locker aku melihat Ryo berdiri menungguku.

“Ternyata gerakmu cepat juga ya,” ujarnya. “Aku tadi melihatmu ke sekolah bareng dia. Sudah sejauh apa kamu kenal dia?”

“Lumayan,” jawabku singkat.

“Ayo lah Raka. Apa kamu sudah bilang suka?” selidiknya.

Mendengar pertanyaan itu wajahku kontan memerah. Aku jadi teringat saat-saat pengakuan itu.

“Sudahlah! Tidak perlu dijawab! Aku sudah tahu semuanya dari reaksimu itu,” kata-kata itu membuat wajahku kian memerah. “Dia nerima kamu?”

“Aku mengangguk mengiyakan. “Dia bilang terima kasih.”

“Arghhh!!” geramnya gusar. “Sulit dipercaya tapi kamu benar-benar sudah mengalahkanku, Raka.”

Aku hanya diam melihat sisi kanak-kanak Ryo.

“Selamat,” ujarnya sambil menjulurkan tangannya padaku. “Aku memang tertarik padanya tapi aku tidak minat sama cewek temanku.”

Aku menjabat tangannya.

“Tapi ingat! Kalau kamu tidak menjaganya maka aku akan merebutnya darimu.”

“Tenang! Aku pasti akan menjaganya. Karena dia nyawaku,” ujarku.

Ryo berbalik meninggalkanku saat melihat Mia, gadis yang kupuja menghampiriku.

“Temanmu?”

“Ya,” jawabku. “Ng... ada apa nih? Kangen ya?” godaku.

“Gr-an ah!” serunya. Secercah senyum menghiasi wajahnya.

“Lantas apa?”

“Ng... aku mau ngomong aja,” jawabnya.

Sekarang aku dan Mia semakin akrab. Dia mulai terbuka denganku. Dia sering curhat. Bertukar pikiran denganku. Aku selalu melihatnya tersenyum. Wajahnya yang tersenyum kian anggun di mataku. Aku merasa sangat beruntung telah memiliknya.

Aku sudah tahu beberapa hal tentang dirinya. Dan juga alasan terperinci kenapa dia ingin bunuh diri waktu itu. Selama ini dia tinggal di tengah keluarga yang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Sampai-sampai tidak ada waktu lagi untuk memperhatikannya. Orangtuanya hanya ingin mendengar kalau dia berhasil. Tidak boleh ada kegagalan, tapi tidak pernah menghargai kesuksesannya. Bahkan dia pernah disakiti oleh pacar dan temannya. Pacarnya meninggalkan dia dan berpaling pada temannya itu. Teman yang sangat dia percaya dan pacar yang sangat dia sayangi telah membuatnya terpuruk kini.

Tak terasa olehku kalau hubungan kami inisudah berjalan selama empat bulan. Belakangan ini aku mulai sibuk dengan kegiatanku. Aku menjabat sebagai koordinator pentas seni sekolah. Hal ini membuat waktu kami untuk bersama kian sedikit. Begitu pula waktu untuk ngobrol dengannya. Bahkan untuk pulang bareng saja susah.

“Maaf ya, aku gak bisa pulang bareng. Aku mesti rapat. Mungkin agak lama,” ujarku saat pulang sekolah. “Sekali lagi maaf ya.”

Mia mengangguk pelan. Tanpa ekspresi apapun dia melangkah pergi.

Sebenarnya aku merasa tidak enak padanya. Sudah satu minggu ini aku gak pulang bareng dia. Pasti sudah banyak sekali yang ingin diceritakannya padaku. Apa mungkin dia akan marah padaku? Ah... semoga saja tidak. Aku tidak ingin dia membenciku. Baiklah. Saat pentas seni nanti aku akan terus bersamanya. Sebagai penganti waktu yang telah dikorbankan ini.

Malam ini aku kembali sibuk dengan proposal yang akan diajukan ke sekolah. Huh! Rasanya lelah sekali. Rasanya sehari itu tidak cukup dengan dua puluh empat jam. Aku menyingkir dari komputerku yang tetap kubiarkan menyala dan merrebahkan diriku ke atas kasur.rasanya punggungku ini sudah mau patah.

Aku meraih ponselku dan mengaktifkannya. Sejak sepulang sekolah aku mematikan ponselku. Ada beberapa pesan masuk, salah satunya mail boks. Mia menelponku sekitar pukul setengah delapan. Aku langsung menghubunginya pasti ada yang ingin dia bicarakan.

“Hallo,” ujarku.

“Hallo,” jawabnya.

“Tadi kamu nelpon ya? Maaf ya, tadi ponselnya aku matiin. Mau ngomong apa?”

“Ng... gak ada kok,” jawabnya. “Kamu lagi sibuk ya?”

“Sibuk? Gak begitu sih. Aku cuma lagi ngoreksi proposal aja kok.”

“O... ya udah deh.”

“Kok udah sih?” protesku.

“Aku cuma gak mau ganggu kamu,” jawabnya. “Bye...”

“Bye juga...”

Pandanganku menerawang. Dia mau ngomong apa sih? Kenapa gak langsung diomongin aja? Ya sudahlah, besok akan aku tanyakan langsung.

***

Tapi esok harinya aku tidak menemukannya di sekolah. Kata salah seorang teman sekelasnya dia tidak masuk. Aku mencoba menelpon ke ponselnya juga tidak aktif.

Kenapa jadi seperti ini? Aku merasa kehilangan dia, padahal baru sehari tidak melihat wajahnya. Meskipun selama ini waktu kami tersita tapi kami selalu bertemu.

Besoknya lagi-lagi dia tidak masuk tanpa ada keterangan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Ponselnya juga tidakl aktif- aktif.

Tiba-tiba saja perasaanku jadi tidak enak. Apa yang telah dia lakukan? Semoga dia tidak melakukan hal-hal bodoh.

Pulang sekolah ini tidak ada rapat. Aku akan ke rumahnya untuk menemuinya. Aku ingin sekali melihatnya. Mendengar kata-katanya.

Aku mencoba mengingat-ingat jalan ke rumahnya. Aku baru satu kali ke rumahnya, yaitu saat mengantarnya pulang ketika pertama kali aku bicara dengannya. Kalau tidak salah dua blok dari sini.

Tak lama aku sampai di depan rumahnya. Rumah bercat biru yang sangat rapi dengan taman kecil di depannya. Sederatan mawar bermekaran dengan beraneka warna di taman itu.

Aku masuk ke pekarangan rumah itu. Aku mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka.

“Cari siapa?” tanya perempuan yang sudah cukup berumur itu. Sepertinya dia ibunya Mia.

“Ng... Mia nya ada?” tanyaku sopan. “Sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah. Apa dia sakit?”

“Kamu temannya? Tanya perempuan itu. Aku mengangguk mengiyakan. “Dia tidak ada.”

Aku mengernyitkan dahiku. “Maksusnya dia sedang pergi? Kemana?”

Perempuan itu menggeleng cepat. “Bukan. Maksudku dia sudah tidak ada.”

“Tidak ada?” tanyaku bingung.

“Ya. Dia sudah meninggal,” jawab perempuan itu tanpa merasa sedih sedikitpun.

Kata-kata itu seolah telah merenggut rebagian kesadaranku. Rasanya kakiku sangat lemas sampai-sampai mau jatuh. “Meninggal?”

“Ya, dua hari yang lalu dia bunuh diri,” lagi-lagi perempuan itu bicara tanpa ada ekspresi sedih. “Oya. Apa kamu yang namanya Raka?” tanyanya. Aku mengangguk lesu. “Kalau tidak salah dia meninggalkan surat untukmu. Aku akan mencari surat itu. Semoga suratnya belum terbuang.”

Aku masih tetap terdiam. Kakiku semakin lemas. Keseimbanganku mulai goyang. Kenapa harus bunuh diri? Apa dia masih meragukan aku?

Perempuan itu muncul kembali dengan membawa secarik surat di tangannya kemudian menyerahkan surat itu padaku.

“Anak bodoh itu suka sekali melakukan hal-hal yang aneh dan tidak berguna. Kurasa dia sudah banyak merepotkanmu. Mungkin dia memang lebih baik meninggal,” ujarnya.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia benar-benar sendirian di rumah ini. Bahkan orangtuanyapun tidak menganggapnya.

“Ini kalau kamu ingin pergi ke makamnya,” ujarnya lagi sambil menjulurkan secarik kertas.

“Terima kasih,” aku menerima kertasa tersebut. “Mungkin Ibu tidak tahu, tapi dia sangat berarti bagiku. Dia tidak pernah merepotkanku,” ujarku kemudian melangkah pergi.

Aku membaca surat itu. Isinya sangat singkat.

“Aku sangat menyayangimu dan aku percaya dengan perasaanmu. Tapi dengan keadaanku yang seperti ini aku tidak ingin membebanimu dengan segudang masalahku. Biarlah perasaan ini kubawa pada mimpi. Andai kehidupan akan datang itu ada, aku ingin kita bertemu lagi, dalam keadaan yang lebih baik.”

Mataku terasa panas. Aku menangis untuk yang pertamakalinya.

“Kalau Ryo melihatku seperti ini mungkin dia akan mengejekku. Tapi salahkah aku kalau aku menangis untuk orang yang kusayang? Salahkah aku kalau aku menangis untuk orang yang telah pergi meninggalkanku? Biarlah aku dibilang cengeng. Toh ini memang sangat menyedihkan, Mia,” ujarku mendekap gundukan tanah merah bernisankan Mia yang ada di hadapanku.

“Aku juga sangat ingin bertemu lagi denganmu di kehidupan yang akan datang. Tapi aku tidak ingin kau meninggalkan aku lagi.”

Perasaanku dan Perempuan Itu selesai

Tidak ada komentar: