Minggu, 21 September 2008

Cerpen Maya

Aku kembali menghapus deretan kata-kata di monitor komputerku. Otakku mulai berputar lagi untuk mencari ide yang lebih menarik. Aku harus menyelesaikan cerpen ini, tapi waktu yang ku punya hanya tinggal dua minggu lagi. Aku semakin gusar dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang terjepit.

Aku Maya Astia. Seorang pelajar SMA yang gemar menulis. Tapi itu bukan berarti aku pandai menulis.

Kali ini aku ingin mencoba menuangkan kegemaranku dalam suatu lomba yang diadakan oleh sebuah majalah remaja. Aku harus benar-benar memutar otak karena cerita yang kubuat harus bertema remaja. Kehidupan remaja yang belum sepenuhnya kumengerti.

Malam semakin larut. Aku yang semakin lelah mencari ide cerita untuk cerpenku pun juga ikut terlarut dalam dunia mimpi.
***
“Pagi, Maya...” sapa Desti.

“Pagi juga, Dest,” jawabku lesu dengan mata yang masih lima watt.

“Kenapa? Tidur larut lagi ya?” tanya Desti sambil meletakkan tasnya ke atas meja di sebelahku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Masih belum dapat ide cerita juga?” tanyanya setelah duduk di sebelahku. Akupun mengangguk pelan.

“Apa susah sekali ya mencari ide cerita yang bagus itu?” tanyanya lagi. “Memangnya cerita yang bagus itu menurutmu cerita yang seperti apa sih? Siapa tahu aku bisa kasih masukan.”

Aku berpikir sejenak. Selama ini aku tidak pernah punya kriteria khusus untuk menentukan seperti apa cerita yang bagus itu. Selama ini aku hanya berpikir bahwa cerita yang bagus itu cerita yang dapat menyentuh hati pembacanya. Dalam bentuk apapun.

“Seperti apa?” Desti mengulang pertanyaannya karena aku tak juga menjawab.

“Ah! Maaf,” jawabku tersadar kalau Desti masih menunggu jawabanku. “Menurutku cerita yang bagus itu cerita yang bisa menyentuh hati pembacanya.”

“Itu saja? Tidak ada yang lain? Kamu yakin, May?”

“Kurasa, ya,” jawabku sedikit ragu.

“Kalau gitu maaf. Aku tidak bisa membantumu. Karena menyentuh atau tidaknya suatu cerita itu relatif. Tergantung pada pembacanya,” ujar Desti.

“Itu sebabnya sangat sulit bagiku untuk menulis cerpen ini. Karena cerpen ini untuk remaja. Remaja yang punya banyak karakter.”

“Berjuang lebih gigih ya!” seru Desti mencoba memberiku semangat. “Kalau Maya pasti bisa.”

Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata itu. Hanya Destilah yang mau memberiku semangat. Teman yang selalu mencoba membesarkan hatiku.
***

Hari ini aku harus bisa menyelesaikan cerpen ini. Aku tidak boleh mengecewakan Desti yang percaya padaku. Aku akan membuat cerpen yang bisa menyentuh hati pembacanya. Cerpen yang bagus.
***
Aku mulai mengetik. Menuangkan kata-kata yang akan kurangkai menjadi cerpen itu.
Di luar sana malam kian larut. Tapi tuts-tuts key board ku masih menghentak mengiringi kesunyian malam.
Malam ini aku akan tidur larut lagi. Tapi besok pagi aku akan memperlihatkan cerpenku pada Desti. Dialah orang pertama yang akan membaca cerpenku.
***

Semalam aku tidur terlalu larut. Lebih larut dari biasanya. Dan hal itu membuatku bangun terlambat. Untung saja aku masih diizinkan masuk oleh guru piket. Dan untung saja guru yang mengaja rtidak terlalu galak sehingga aku masih bisa mengikuti pelajarannya meskipun harus menyelesaikan beberapa soal sebagai sanksinya.

“Dest, aku punya kabar gembira,” biskku saat sampai di kursi.

“Kabar gembira apa?” tanyanya penasaran.

“Nanti saja saat istirahat,” ujarku.

“Benar ya!”

Aku mengangguk pelan.

Saat jam istirahat Desti langsung menagih janjiku.

“Apa kabar gembiranya?” tanya Desti penasaran.

“Hm... penasaran ya?”

“Cepat dong, May! Apa kabar gembiranya?” desak Desti.

“Ini,” ujarku sambil menyodorkan cerpenku.

“Ini?” bisiknya tak percaya. “Cerpennya sudah jadi?”

Aku mengangguk.

“Benarkan kataku. Kalau Maya pasti bisa.”

“Coba kamu baca. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang cerpenku ini.”

“Baik. Akan ku baca sekarang juga.”

Desti mulai membaca cerpenku. Aku jadi merasa deg-degan. Kira-kira apa komentar Desti? Baguskah cerpen yang kubuat ini?

Aku memperhatikan Desti yang sedang membaca cerpenku. Menunggunya selesai membaca dan berkomentar.

“Maya,” ujarnya sambil menyerahkan naskah cerpen itu poadaku. “Kenapa kamu buat cerita yang sedih begini?” cerpen ini membuatku ingin menangis,” ujarnya sambil menyeka air matanya yang mulai keluar.
Aku masih diam menunggu komentar apa lagi yang akan Desti ucapkan.

“Cerpenmu sedih sekali. Tapi ini cerpen paling bagus yang pernah ku baca.”

“Benarkah?” tanyaku nyaris tak percaya. “Kamu tidak bohong kan?”

Desti menggeleng. Aku merasa sangat senang. Cerpenku dipuji oleh teman yang sangat aku hargai.

Aku sangat percaya akan apa yang Desti katakan. Desti tidak mungkin bohong. Ah... akhirnya aku tidak mengecewakannya. Aku tidak sabar lagi ingin mengirimkan cerpenku ini.

***

Aku melangkah menuju kantor pos. Aku akan mengirim cerpenku. Segera. Aku terlalu bahagia sampa-sampai tidak menyadari ada pria yang melintas di depanku. Kami bertabrakan hingga bawaanku terjatuh.

“Maaf,” ujarku sambil mengumpulkan bawaanku yang sudah jatuh berserakan.

Pria itu tidak menjawab.dia langsung membantuku mengumpulkan bawaanku.

“Kamu ikut lomba cerpen ini ya?” tanya pria itu saat melihat alamat yang tertera pada amplop cerpenku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Boleh ku baca?” tanya pria itu.

Aku terdiam. Mengapa tidak? Toh tadi Desti sudah memuji cerpenku ini.

“Boleh?” tanyanya.

“Ya. Silahkan.”

“Terima kasih.”

Pria itu mulai membaca cerpenku. Sama sekali tidak tampak ekspresi keluar dari raut wajahnya kecuali kerutan di dahinya. Tak lama pria itu menyerahkan kembali cerpenku.

“Tidak menarik,” ujar pria itu datar. “Terlalu pasaran dan dibuat-buat. Kesannya kamu ingin menyentuh hati pembaca tapi jadinya justru sebaliknya, membuat pembaca bosan.”

Aku benar-benar terkejut mendengar komentar pedasnya yang sangat bertentangan dengan apa yang telah Desti katakan. “Kamu tahu apa sih tentang cerpen? Mau menjatuhkan semangatku?”

“Aku hanya berkomentar sesuai dengan apa yang aku rasakan. Apa salah?”

“Kamu hanya sok tahu!”

“Terserah kamu mau bilang apa,” ujarnya masih dengan tenangnya. “Saranku, jangan buat cerita dengan mengandalkan khayalan saja. Karena khayalan saja tak akan pernah cukup untuk menghidupkan suatu cerita. Cobalah membuat cerita dengan melihat dirimu. Sebenarnya dalam diri kita tertulis cerita yang sangat menarik. Dan lagi, jangan terlalu terpengaruh dengan penulis lain! Jadilah dirimu sendiri!”

Rasanya aku ingin menangis saja mendengar kata-kata pria itu. Dia menghinaku. Pria yang baru pertama kali kutemui dan tak kukenal telah menghujamku dengan kata-kata yang amat dalam.

“Kamu itu sangat menyebalkan! Kamu itu sok tahu!” makiku kesal sambil berlalu meninggalkannya.

“Siapa sih dia? Sok sekali. Baru pertama kali bertemu sudah memberi kesan yang buruk,” sungutku dalam hati.
Akhirnya aku sampai juga di kantor pos. Tapi entah mengapa aku jadi kepikiran dengan kata-kata pria tadi. Kata-katanya benar-benar membuatku kecut. Aku berbalik meninggalkan kantor pos dan mengurungkan niatku untuk mengirim cerpenku ini.

Aku akan menanyakan pendapat Desti untuk yang kedua kalinya tentang cerpenku ini.

***
“Sudah dikirim cerpennya?” tanya Desti saat bertemu denganku keesokan harinya. Aku hanya menggeleng.

“Lho? Kenapa?” tanya Desti heran.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Desti itu.

“Apa benar cerpenku sebagus yang kau katakan itu?”

“Kenapa nanya seperti itu? Cerpenmu itu sangat bagus kok.”

“Tapi kemarin...”

“Kemarin memangnya kenapa?” tanya Desti bingung.

“Kemarin ada seorang pria yang mmbaca cerpenku, lalu dia memberi komentar yang sangat bertentangan denganmu. Dia...” aku menceritakan semua kejadian kemarin pada Desti seolah-olah kejadian itu terulang kembali. Desti mendengarkanku sambil sesekali menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Dia bilang begitu?” tanya Desti memastikan setelah aku selesai bercerita padanya.

Aku mengangguk kecil. “Apa benar begitu?”

“Tentu tidak. Ceritamu sangat bagus.”

“Kumohon jujurlah!” pintaku. “Anggap saja sekarang kamu bukan temanku. Anggap saja kamu itu seorang komentator yang tidak mengenalku.”

“Maya...”

“Kumohon...”

Desti mengangguk kaku.

“Ternyata benar. Aku ini tidak berbakat ya...”

“Tidak. Kamu berbakat kok.”

“Sudah! Jangan membuatku berharap lebih lagi,” seruku kemudian pergi meninggalkan Desti. Aku kecewa. Kesal. Dan marah pada diriku ini.

***

Aku terdiam sendiri di kamarku. Aku benar-benar kecewa. Kata-kata telak itu pun mendapat pengakuan dari sahabatku. Aku ini benar-benar mengecewakan. Di tengah lamunanku tiba-tiba saja handphone ku bunyi. Ada sms masuk. Dari Desti. Aku membaca sms itu dengan malas. Desti mencoba memberiku semangat. Lagi-lagi dia bilang ‘kalau Maya pasti bisa’. Aku jadi teringat pada kata-kata pria itu. ‘jangan membuat cerita dengan hanya mengandalkan khayalan. Tapi cobalah membuat cerita dengan melihat diri kita sendiri karena dalam diri kita ada cerita yang sangat menarik’.

Semangatku kembali bangkit. Baiklah kalau begitu. Aku akan membuat cerita yang sangat bagus agar Desti tidak kecewa dan agar pria itu tahu kalau aku bisa membuat cerita yang sangat menarik.

Aku akan membuat cerita dengan melihat jauh pada diriku. Akan kuselesaikan. Aku akan beritahu Desti kalau aku tidak akan menyerah.

Malam ini untuk kesekian kalinya aku akan tidur larut. Tapi tidak apalah. Toh besok hari minggu.

***

Setelah dua malam berusaha akhirnya aku bisa menyelesaikan cerpen yang menurutku sangat bagus. Aku akan mengirimnya hari ini sepulang sekolah.

Aku melangkah ke kantor pos. Untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini aku tidak akan membawa kembali cerpenku pulan. Aku akan mengirimnya. Tekadku sudah bulat.

Di jalan aku tidak bertemu dengan pria itu. Tapi nanti bila aku bertemu lagi dengannya aku akan memaksanya membaca cerpenku ini. Agar dia tidak lagi menganggab remeh aku.

***

“Kapan pemenang cerpen itu diumumkan, May?” tanya Desti sepulang sekolah.

“minggu ini. Dan majalahnya akan terbit besok,” jawabku. “Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hasilnya.”

“May, aku yakin kamu bisa.”

“Terima kasih. Kamu selalu memberiku semangat. Tapi apapun hasilnya nanti aku tidak akan patah semangat lagi. Kalau gagal aku akan terus mencoba dan mencoba. Melihat lebih dalam lagi pada diriku. Mencari dan menemukan cerita yang tertulis di dalamnya.”

Desti tersenyum simpul mendengar perkataanku.

Sebuah sedan hitam berhenti di samping kami.

“Aku sudah di jemput. Kamu mau bareng?” tawar Desti.

Aku menggeleng kecil.

“Ya sudah. Aku duluan ya, May.”

“Ya,” jawabku sambil melambai padanya.

***

Aku terbangun saat handphone ku berdering.

“Desti? Kenapa juga dia nelpon sepagi ini?”

Aku mengangkat telpon darinya.

“Ada apa, Dest?” tanyaku masih dalam keadaan mengantuk.

“Kamu sudah baca majalahnya?” tanya Desti. Suaranya keras sekali. “Nama kamu. Nama kamu, May. Nama kamu ada di dalam majalah itu. Kamu menang. Juara satu.”

“Ha??” responku tak percaya. “Kamu masih mimpi ya?”

“May, aku serius. Kamu harus ke kantor redaksi sekarang. Kamu harus teken kontrak untuk menulis cerpen di sana!”

“Kamu serius?” tanyaku. “Baiklah. Aku segera kesana.”

Aku langsung berangkat menuju redaksi. Benarkah apa yang telah di katakan Desti?

Sesampainya di redaksi aku dan Desti harus menunggu selama dua jam. Saat giliranku di panggil Desti menemaniku memasuki ruangan. Betapa terkejutnya aku saat melihat pria yang duduk di ruangan itu. Dia orang kejam yang tidak tahu sopan santun dan telah menghina cerpenku!

“Kamu kenapa bisa ada di sini?”

“Aku bekerja di sini. Menangani bagian cerpen. Termasuk perlombaan ini,” jawabnya datar. “Ku akui kalau cerpenmu ini cukup menarik. Tapi jangan bangga dulu karena masih ada beberapa bagian yang menurutku masih belum pas dan harus di perbaiki.”

“Kamu ini, benar-benar menyebalkan, ya. Kamu itu selalu mencari kesalahan orang lain,” sungutku jengkel.

“Ya... tapi aku senang kamu mau mendengarkan saranku.”

“Cerpen Maya memang selalu bagus,” ujar Desti.

“Ya, cerpen yang diambil dari kehidupan Maya yang maya,” ujar pria itu. “Maya. Mulai hari ini suka atau tidak suka kau harus terbiasa dengan kritikanku karena kita akan bekerja sama menangani bagian cerpen. Oya! Namaku Adrian,” ujarnya sambil menjabat tanganku.

“Ya, kuharap aku bisa tahan. Asalkan kau tidak membuatku terlalu kesal,” ujarku sambil menerima jabatan tangannya.

“Dia tersenyum. Sangat manis. Itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Tampaknya umurnya tidak terlalu tua. Dia masih bisa dikatakan terlalu muda untuk mendapat bagian di redaksi ini.

“Ternyata kamu lumayan cakep juga, ya,” celutuk Desti membuat wajahnya memerah seperti tomat.

“Semoga kami bisa bekerja sama,” aku berharap di dalam hati.

***Cerpen Maya selesai***

Menyentuh Hujan

Langit tampak lebih tinggi siang itu. Birunya yang agung bergaya dengan bebasnya tanpa ada awan yang mengusik. Tepat di atasku, seonggok mentari bertengger. Tersenyum manis adalam kesombongan kuasanya. Beberapa kali angin kering membelaiku, menggores rasa panas dan perih di kulitku.

Aku mempercepat langkahku. Udara luar terlalu panas untuk ku nikmati. Rerumputan kering bernyanyi serak ketika beradu dengan tapak sepatuku. Bising.

Tak lama aku sampai di depan sebuah bangunan yang dilingkari oleh pagar tembok setinggi dua meter. Rumput segar terhampar di halaman yang tidak begitu luas itu. Di sebelahnya ada bengkel motor kecil. Seorang montir dengan baju kerjanya yang penuh oli sibuk mengotak-atik jobnya hari itu.

Pikiranku menerawang ke dua hari yang lalu. Ketika aku menemani ibuku mencari suatu barang di pasar.

“Jangan berteman dengan orang seperti itu!” seru ibuku ketika seorang laki-laki dengan tatto di tangan kirinya dan anting yang menghujam telinganya lewat melinyasi kami. “Kau harus pintar memilih orang yang akan dijadikan teman. Jangan sembarangan!” seru ibuku memperingatkan lagi.

Aku mengangguk tanpa mengiyakan. Suaraku tercekat untuk menjawab ‘iya’. Memang ada apa dengan laki-laki itu? Aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu sifat dan karakteristiknya. Lantas ada apa? Apa karena penampilannya? Entahlah. Aku terlalu tidak tahu untuk mengerti.

Sebegitu besarkah pengaruh penampilan di mata manusia? Sampai-sampai tanpa mau mengenal sudah memfonis sesuka hati. Padahal dulu, ketika aku masih berseragam putih biru, kakakku pernah berpacaran dengan seorang polisi. Penampilannya menarik. Cukup meyakinkan untuk menjadi lelaku baik-baik di mata setiap orang. Ibaratnya pendidikan yang tinggi telah berhasil membentuknya menjadi manusia berkelas. Weks!!

Siapa sangka kalau laki-laki berkelas itu seorang penipu ulung? Dia menikahi wanita lain setelah berhasil memperdaya uang orangtuaku yang dia pinjam untuk membuka usaha sebagai modal untuk menikah dengan kakakku nantinya.

Huh! Rasanya aku mau menyumpahinya sampai mampus. Biar mati saja sekalian. Seumur hidup aku tidak akan memaafkannya. Apalagi untuk menganggapnya sebagai manusia. Boo, binatang peliharaanku saja tidak pernah menipu kami. Ternyata hewan lebih mengerti perasaan dari pada manusia berkelas itu.
Ku tepis ingatan buruk itu. Terlalu menyakitkan untuk dikenang, batinku. Rasa benci itu terlalu membara untuk dipadamkan.

Mataku kembali pada pintu yang terbuka. Didalamnya ada beberapa orang yang dianggap masyarakat sebagai ‘aktifis bego’. Sibuk ngurusin lingkungan padahal gak ada yang mau perduli dengan mereka. Tapi aku salah satu orang yang bercita-cita untuk menjadi seperti mereka.

Namun sepertinya cita-cita itu hanya akan sebatas impian. Orangtuaku sudah punya rencana sendiri untukku. Mereka ingin aku menjadi orang yang berkelas. Orang yang statusnya jelas di KTP nantinya. Pengangguran atau...

Mereka sangat ingin aku bekerja di bidang kesehatan. Atau kalau tidak aku bisa bekertja di bidang pendidikan. Mereka benar-benar ingin membentukku. Aku takut meerka hanya akan kecewa. Aku sudah mencoba menutupi egoku. Aku belajar giat untuk menjadi seperti mau mereka. Tapi sulit. Aku tak mampu. Dan itu tidak akan pernah terwujud lagi. Cukup sebatas angan.

Aku melangkah memasuki pekarangan berumput itu. Hanya di sinilah rumput-rumputnya masih segar. Dua ekor kelinci mengisi kekosongan halaman itu dengan tingkah mereka. Seekor yang berwarna putih berlari nyaris menabrakku. Dia berhenti tepat satu senti dariku. Sibuk mengendus-endus di sekitar kakiku. Aku menjulurkan tanganku untuk meraihnya tapi dia justru lari menghindari uluran tanganku. Bersembunyi di balik tumpukan kayu di sisi kanan pagar. Apa aku sebegitu menakutkan?

Aku melanjutkan langkahku hingga sampai di depan pintu.

“Ah... akhirnya aku terlindungi dari sengatan sinar matahari,” pikirku lega.

Tiga orang laki-laki duduk di kursi kayu ruangan depan itu. Mereka tidak saling bicara. Hanya duduk diam seolah sedang merenungi. Mereka bahkan tidak menyapaku yang berdiri tepat di pintu saat itu.

“Mungkin ada masalah besar yang harus mereka selesaikan,” pikirku.

Baru saja aku hendak melangkah maju, seorang laki-laki keluar dari pintu di dinding sebelah kanan ruangan itu. Badannya kecil. Tatto penuh menghiasi lengannya. Dia idolaku. Bagi masyarakat awam dia hanyalah bagian dari pelengkap penderitaan. Sama sekali tidak masuk dalam kategori manusia berkelas. Tapi bagiku, bagi siswi SMA yang tiba-tiba terpilih sebagai ketua dalam organisasi yang asing dalam pergaulan. Dia adalah manusia paling berkelas.

Satu bulan pertama aku menjabat sebagai ketua selalu dihiasi oleh masalah. Mulai dari masalah kecil sampai masalah besar. Entah itu masalah yang hanya mengusikku sedikit atau masalah yang membuatku berpikir untuk melepas jabatanku. Dan di setiap masalahitu dialah yang selalu membangkitkan semangatku. Dialah yang selalu mendorongku untuk terus mencoba. Mencari jalan keluar. Yang selalu memberiku masukan. Yang selalu membantuku menyelesaikan masalah tanpa menyalahkan siapapun. Dia selalu menjadi penengah. Laki-laki bijaksana yabg selalu kuidolakan. Meski terkadang tak sedikit orang yang menilai dia sombong dan angkuh. Tapi di kacamataku dia adalah orang yang ramah dan bersahabat.

Entah mengapa hari ini tampangnya lesu sekali. Dia hanya diam. Berlalu ke dalam ruangan yang berjarak satu pintu dari ruangan di mana dia keluar tadi.

Diapun tidak menyapaku. Aku tidak begitu ambil pusing dengan semua itu. Aku masuk ke dalam ruangan di mana dia keluar tadi. Ruangan itu adalah base camp organisasi yang aku pimpin. Sekarang di dalam ruangan itu ada tiga orang rekanku yang selalu setia mendampingiku.

Laki-laki kurus tinggi itu sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu menasehatiku. Bahkan terkadang memarahiku kalau menurutnya tindakanku terlalu kekanak-kanakan. Dia serinkali menggodaku, membuatku kesal. Tapi di balik itu semua dia selalu berusaha melindungiku dan membelaku. Dia hanya ingin melihatku tertawa.

Laki-laki yang satu lagi berperan sebagai penasehat dalam hidupku. Kalau mau mengambil keputusan aku selalu menanyai pendapatnya. Bagiku pemikirannya dalam berorganisasi jauh lebih dewasa dariku. Dia lebih profesional. Tapi di luar semua itu dialah yang sifatnya paling kanak-kanak. Dia tak kalah sering menggangguku. Jauh di dasar hatiku, dialah orang yang sangat spesial untukku. Awalnya aku hanya kagum padanya. Namun terbawa oleh waktu perasaanku padanya berkembang menjadi rasa suka.

Yang terakhir seorang perempuan yang ceria. Dia ramah dan logat bicaranya khas Jawa banget. Aku sering curhat dengannya. Baik itu masalah pribadi ataupun tidak. Aku percaya dia bisa menjaga kepercayaan yang telah ku berikan.

Mereka sekarang tertunduk lesu. Aku heran. Bangunan yang isinya orang-rang yang aku sayangi ini sekarang sangat sunyi. Padahal biasanya dipenuhi suara tawa dan kehebohan mereka. Aku tidak jadi menyapa mereka. Sejenak akhirnya aku menyadari, mereka tidak seperti sedang bingung. Mereka cemas. Sedih. Ada hal apa sampai-sampai membuat mereka begini? Apa yang sedang tidak ku ketahui?

Baru saja aku ingin menanyakan hal itu pada mereka, tiba-tiba saja rekanku yang perempuan berdiri dari duduknya dan berbicara dengansangat panik melalui handphone yang dari tadi dipegangnya. Seolah sedang menunggu kabar penting dari seeseorang.

Aku sangat ingin mendengar apa yang dia bicarakan, tapi suaranya terlalu samar terdengar olehku.

Tiba-tiba rekan perempuanku itu terdiam mematung. Handphone yang tadi menempel di telinganya lepas dari genggamannya. Terhempas tanpa bunyi di atas lantai semen itu. Beberapa detik dia membeku dan seketika tangisnya meledak. Dua orang rekan laki-lakiku itu langsung mendekapnya. Mencoba menenangkannya. Aku langsung berjalan mendekati mereka.

“Ada apa?” tanyaku. Tapi tak seorangpun dari mereka yang menjawab. Aku semakin mendekat. Satu hal mengejutkan membuatku mersa takut ketika aku mencoba menggapai temanku itu untuk menenangkannya.

TANGANKU MEMEMBUSNYA

Aku menggigil. Takut. Aku tidak mengerti. Sayup-sayup akhirnya aku bisa mendengar suara mereka.

“Tenang, Ta! Tenang! Ini semua takdir,” ujar laki-laki kurus tinggi itu sambil mendekap rekan perempuanku. Kesedihan terpancar jelas di wajahnya.

“Takdir? Ini semua bukan takdir!” teriak rekan perempuanku histeris. Kalau bukan karena orang berkelas yang pengecut itu dia pasti masih ada di sini. Berkumpul di antara kita.”

“Itu hanya perantara, Ta. Perantara takdir,” ujar rekan laki-lakiku yang satu lagi. Wajahnya yang pucat tidak dapat dia sembunyikan.

“Orang itu yang salah. Dialah yang harus bertanggung jawab,” isak rekan perempuanku itu. Air mata memenuhi wajahnya. “Orang itu harus menebus perbuatannya!”

“Ta, sabar!” pinta laki-laki kurus tinggi itu. Suaranya bergetar. Kurasa dia berusaha keras menahan tangisnya.

“Bagaimana aku bisa sabar? Bagaimana harus sabar? Orang yang kita sayangi sudah direnggut dari sisi kita. Aku gak bisa terima. Gak akan pernah bisa terima.”

“Aku ngerti. Dia memang sangat berarti bagi kita. Semangatnya adalah motivasi kita. Dialah energi kita. Kita semua kelhilangan dia. Tapi, Ta, masalah itu tidak akan selesai kalau dihadapi dengan emosi.”

Seketika keringat dingin menghujaniku. Rasa takut menjalariku. Pikiranku buntu. Aku sama sekali tidak mengerti akan apa yang terjadi. Beberapa kali aku mencoba untuk bertanya namun tidak pernah ada kesempatan. Mereka semua tiba-tiba jadi histeris dan aku tidak mengerti.

Aku hanya mengekor pada mereka hingga akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit. Di sana ada orangtuaku, saudaraku, bahkan keluargaku yang lainnya. Mata mereka tampak sembab.

Seketika selintas bayangan muncul dalam ingatanku seperti film yang diputar ulang di depan mataku. Di sekelilingku gaduh. Aku berada di tengah keramaian yang kacau. Tiba-tiba seorang laki-laki menarikku, bersembunyi di balik tubuhku. Aku masih terlalu bingung ketika rasa sakit itu menjalari tubuhku. Menembusi dagingku. Dan akhirnya semua hanya gelap. Sempat terdengar olehku teriakkan histeris dari ibuku.

Sekarang aku ingat semua. Tapi masih terlalu tiba-tiba untuk menjadi kenyataan bagiku. Dua hari lalu ketika aku menemani ibuku ke pasar, seorang teroris mencoba menembak seorang pejabat yang kebetulan berada di dekatku. Bagi polisi aku hanyalah korban dari peluru nyasar. Tapi sungguh. Pejabat itu menarikku untuk melindungi dirinya dari sasaran peluru.

Di atas ranjang putih itu aku terbujur kaku. Tertutup oleh kain putih yang tak kalah putih dengan ruangan itu. Satu jam lalu nafasku terhenti.

Aku mendekati ragaku. Aku sungguh pucat di sana. Aku takut melihatnya. “Itu aku,” batinku.

Perlahan suara isak tangis mereka semakin jelas. Rasanya menyakitkan. Seolah menyayatiku.

“Jangan menangis lagi!” pintaku. Namun tak ada yang mendengar. “Aku juga berat untuk meninggalkan kalian. Aku juga tidak rela kehilangan kalian. Aku juga sedih.”

Akhirnya seorang dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan itu. Membawa ragaku ke luar dan memasukkanku ke dalam ambulance.

Di siang hari yang cerah itu hujan turun menghujam bumi. Seolah mewakili kesedihan yang kini menaungi auraku. Semua orang minggir ke tepi. Berteduh di teras rumah sakit. Sedangkan aku terus berdiri di samping ambulance itu. Menikmati hujaman hujan yang menembusku. Kurentangkan tanganku lebar-lebar. Aku ingin menyentuhnya. Merasakan sakit dan dinginnya tetesan air langit itu. Tapi tetap saja ia menembusku.
Kini harapanku hanya satu. Aku ingin sekali menyentuh hujan. Agar air hujan itu mencairkanku. Membawaku larut dalam alirannya. Menghapus semua memori akan keberadaanku selama ini. Supaya sedih itu lenyap. Hilang...

Belum cukup banyak kenangan yang kuukir bersama kalian
Belum cukup banyak peristiwa yang kulalui dengan kalian
Belum cukup banyak cerita yang kusampaikan pada kalian
Belum cukup banyak perasaan yang kucurahkan untuk kalian
Namun kini aku harus menghilangkan memori yang belum cukup banyak itu
Aku harus merelakan semua keinginanku
Aku harus membunuh egoku
Meski sungguh berat
Meski sangat perih
Lupakanlah aku
Agar aku tenang

****Menyentuh Hujan selesai****