Langit tampak lebih tinggi siang itu. Birunya yang agung bergaya dengan bebasnya tanpa ada awan yang mengusik. Tepat di atasku, seonggok mentari bertengger. Tersenyum manis adalam kesombongan kuasanya. Beberapa kali angin kering membelaiku, menggores rasa panas dan perih di kulitku.
Aku mempercepat langkahku. Udara luar terlalu panas untuk ku nikmati. Rerumputan kering bernyanyi serak ketika beradu dengan tapak sepatuku. Bising.
Tak lama aku sampai di depan sebuah bangunan yang dilingkari oleh pagar tembok setinggi dua meter. Rumput segar terhampar di halaman yang tidak begitu luas itu. Di sebelahnya ada bengkel motor kecil. Seorang montir dengan baju kerjanya yang penuh oli sibuk mengotak-atik jobnya hari itu.
Pikiranku menerawang ke dua hari yang lalu. Ketika aku menemani ibuku mencari suatu barang di pasar.
“Jangan berteman dengan orang seperti itu!” seru ibuku ketika seorang laki-laki dengan tatto di tangan kirinya dan anting yang menghujam telinganya lewat melinyasi kami. “Kau harus pintar memilih orang yang akan dijadikan teman. Jangan sembarangan!” seru ibuku memperingatkan lagi.
Aku mengangguk tanpa mengiyakan. Suaraku tercekat untuk menjawab ‘iya’. Memang ada apa dengan laki-laki itu? Aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu sifat dan karakteristiknya. Lantas ada apa? Apa karena penampilannya? Entahlah. Aku terlalu tidak tahu untuk mengerti.
Sebegitu besarkah pengaruh penampilan di mata manusia? Sampai-sampai tanpa mau mengenal sudah memfonis sesuka hati. Padahal dulu, ketika aku masih berseragam putih biru, kakakku pernah berpacaran dengan seorang polisi. Penampilannya menarik. Cukup meyakinkan untuk menjadi lelaku baik-baik di mata setiap orang. Ibaratnya pendidikan yang tinggi telah berhasil membentuknya menjadi manusia berkelas. Weks!!
Siapa sangka kalau laki-laki berkelas itu seorang penipu ulung? Dia menikahi wanita lain setelah berhasil memperdaya uang orangtuaku yang dia pinjam untuk membuka usaha sebagai modal untuk menikah dengan kakakku nantinya.
Huh! Rasanya aku mau menyumpahinya sampai mampus. Biar mati saja sekalian. Seumur hidup aku tidak akan memaafkannya. Apalagi untuk menganggapnya sebagai manusia. Boo, binatang peliharaanku saja tidak pernah menipu kami. Ternyata hewan lebih mengerti perasaan dari pada manusia berkelas itu.
Ku tepis ingatan buruk itu. Terlalu menyakitkan untuk dikenang, batinku. Rasa benci itu terlalu membara untuk dipadamkan.
Mataku kembali pada pintu yang terbuka. Didalamnya ada beberapa orang yang dianggap masyarakat sebagai ‘aktifis bego’. Sibuk ngurusin lingkungan padahal gak ada yang mau perduli dengan mereka. Tapi aku salah satu orang yang bercita-cita untuk menjadi seperti mereka.
Namun sepertinya cita-cita itu hanya akan sebatas impian. Orangtuaku sudah punya rencana sendiri untukku. Mereka ingin aku menjadi orang yang berkelas. Orang yang statusnya jelas di KTP nantinya. Pengangguran atau...
Mereka sangat ingin aku bekerja di bidang kesehatan. Atau kalau tidak aku bisa bekertja di bidang pendidikan. Mereka benar-benar ingin membentukku. Aku takut meerka hanya akan kecewa. Aku sudah mencoba menutupi egoku. Aku belajar giat untuk menjadi seperti mau mereka. Tapi sulit. Aku tak mampu. Dan itu tidak akan pernah terwujud lagi. Cukup sebatas angan.
Aku melangkah memasuki pekarangan berumput itu. Hanya di sinilah rumput-rumputnya masih segar. Dua ekor kelinci mengisi kekosongan halaman itu dengan tingkah mereka. Seekor yang berwarna putih berlari nyaris menabrakku. Dia berhenti tepat satu senti dariku. Sibuk mengendus-endus di sekitar kakiku. Aku menjulurkan tanganku untuk meraihnya tapi dia justru lari menghindari uluran tanganku. Bersembunyi di balik tumpukan kayu di sisi kanan pagar. Apa aku sebegitu menakutkan?
Aku melanjutkan langkahku hingga sampai di depan pintu.
“Ah... akhirnya aku terlindungi dari sengatan sinar matahari,” pikirku lega.
Tiga orang laki-laki duduk di kursi kayu ruangan depan itu. Mereka tidak saling bicara. Hanya duduk diam seolah sedang merenungi. Mereka bahkan tidak menyapaku yang berdiri tepat di pintu saat itu.
“Mungkin ada masalah besar yang harus mereka selesaikan,” pikirku.
Baru saja aku hendak melangkah maju, seorang laki-laki keluar dari pintu di dinding sebelah kanan ruangan itu. Badannya kecil. Tatto penuh menghiasi lengannya. Dia idolaku. Bagi masyarakat awam dia hanyalah bagian dari pelengkap penderitaan. Sama sekali tidak masuk dalam kategori manusia berkelas. Tapi bagiku, bagi siswi SMA yang tiba-tiba terpilih sebagai ketua dalam organisasi yang asing dalam pergaulan. Dia adalah manusia paling berkelas.
Satu bulan pertama aku menjabat sebagai ketua selalu dihiasi oleh masalah. Mulai dari masalah kecil sampai masalah besar. Entah itu masalah yang hanya mengusikku sedikit atau masalah yang membuatku berpikir untuk melepas jabatanku. Dan di setiap masalahitu dialah yang selalu membangkitkan semangatku. Dialah yang selalu mendorongku untuk terus mencoba. Mencari jalan keluar. Yang selalu memberiku masukan. Yang selalu membantuku menyelesaikan masalah tanpa menyalahkan siapapun. Dia selalu menjadi penengah. Laki-laki bijaksana yabg selalu kuidolakan. Meski terkadang tak sedikit orang yang menilai dia sombong dan angkuh. Tapi di kacamataku dia adalah orang yang ramah dan bersahabat.
Entah mengapa hari ini tampangnya lesu sekali. Dia hanya diam. Berlalu ke dalam ruangan yang berjarak satu pintu dari ruangan di mana dia keluar tadi.
Diapun tidak menyapaku. Aku tidak begitu ambil pusing dengan semua itu. Aku masuk ke dalam ruangan di mana dia keluar tadi. Ruangan itu adalah base camp organisasi yang aku pimpin. Sekarang di dalam ruangan itu ada tiga orang rekanku yang selalu setia mendampingiku.
Laki-laki kurus tinggi itu sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu menasehatiku. Bahkan terkadang memarahiku kalau menurutnya tindakanku terlalu kekanak-kanakan. Dia serinkali menggodaku, membuatku kesal. Tapi di balik itu semua dia selalu berusaha melindungiku dan membelaku. Dia hanya ingin melihatku tertawa.
Laki-laki yang satu lagi berperan sebagai penasehat dalam hidupku. Kalau mau mengambil keputusan aku selalu menanyai pendapatnya. Bagiku pemikirannya dalam berorganisasi jauh lebih dewasa dariku. Dia lebih profesional. Tapi di luar semua itu dialah yang sifatnya paling kanak-kanak. Dia tak kalah sering menggangguku. Jauh di dasar hatiku, dialah orang yang sangat spesial untukku. Awalnya aku hanya kagum padanya. Namun terbawa oleh waktu perasaanku padanya berkembang menjadi rasa suka.
Yang terakhir seorang perempuan yang ceria. Dia ramah dan logat bicaranya khas Jawa banget. Aku sering curhat dengannya. Baik itu masalah pribadi ataupun tidak. Aku percaya dia bisa menjaga kepercayaan yang telah ku berikan.
Mereka sekarang tertunduk lesu. Aku heran. Bangunan yang isinya orang-rang yang aku sayangi ini sekarang sangat sunyi. Padahal biasanya dipenuhi suara tawa dan kehebohan mereka. Aku tidak jadi menyapa mereka. Sejenak akhirnya aku menyadari, mereka tidak seperti sedang bingung. Mereka cemas. Sedih. Ada hal apa sampai-sampai membuat mereka begini? Apa yang sedang tidak ku ketahui?
Baru saja aku ingin menanyakan hal itu pada mereka, tiba-tiba saja rekanku yang perempuan berdiri dari duduknya dan berbicara dengansangat panik melalui handphone yang dari tadi dipegangnya. Seolah sedang menunggu kabar penting dari seeseorang.
Aku sangat ingin mendengar apa yang dia bicarakan, tapi suaranya terlalu samar terdengar olehku.
Tiba-tiba rekan perempuanku itu terdiam mematung. Handphone yang tadi menempel di telinganya lepas dari genggamannya. Terhempas tanpa bunyi di atas lantai semen itu. Beberapa detik dia membeku dan seketika tangisnya meledak. Dua orang rekan laki-lakiku itu langsung mendekapnya. Mencoba menenangkannya. Aku langsung berjalan mendekati mereka.
“Ada apa?” tanyaku. Tapi tak seorangpun dari mereka yang menjawab. Aku semakin mendekat. Satu hal mengejutkan membuatku mersa takut ketika aku mencoba menggapai temanku itu untuk menenangkannya.
TANGANKU MEMEMBUSNYA
Aku menggigil. Takut. Aku tidak mengerti. Sayup-sayup akhirnya aku bisa mendengar suara mereka.
“Tenang, Ta! Tenang! Ini semua takdir,” ujar laki-laki kurus tinggi itu sambil mendekap rekan perempuanku. Kesedihan terpancar jelas di wajahnya.
“Takdir? Ini semua bukan takdir!” teriak rekan perempuanku histeris. Kalau bukan karena orang berkelas yang pengecut itu dia pasti masih ada di sini. Berkumpul di antara kita.”
“Itu hanya perantara, Ta. Perantara takdir,” ujar rekan laki-lakiku yang satu lagi. Wajahnya yang pucat tidak dapat dia sembunyikan.
“Orang itu yang salah. Dialah yang harus bertanggung jawab,” isak rekan perempuanku itu. Air mata memenuhi wajahnya. “Orang itu harus menebus perbuatannya!”
“Ta, sabar!” pinta laki-laki kurus tinggi itu. Suaranya bergetar. Kurasa dia berusaha keras menahan tangisnya.
“Bagaimana aku bisa sabar? Bagaimana harus sabar? Orang yang kita sayangi sudah direnggut dari sisi kita. Aku gak bisa terima. Gak akan pernah bisa terima.”
“Aku ngerti. Dia memang sangat berarti bagi kita. Semangatnya adalah motivasi kita. Dialah energi kita. Kita semua kelhilangan dia. Tapi, Ta, masalah itu tidak akan selesai kalau dihadapi dengan emosi.”
Seketika keringat dingin menghujaniku. Rasa takut menjalariku. Pikiranku buntu. Aku sama sekali tidak mengerti akan apa yang terjadi. Beberapa kali aku mencoba untuk bertanya namun tidak pernah ada kesempatan. Mereka semua tiba-tiba jadi histeris dan aku tidak mengerti.
Aku hanya mengekor pada mereka hingga akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit. Di sana ada orangtuaku, saudaraku, bahkan keluargaku yang lainnya. Mata mereka tampak sembab.
Seketika selintas bayangan muncul dalam ingatanku seperti film yang diputar ulang di depan mataku. Di sekelilingku gaduh. Aku berada di tengah keramaian yang kacau. Tiba-tiba seorang laki-laki menarikku, bersembunyi di balik tubuhku. Aku masih terlalu bingung ketika rasa sakit itu menjalari tubuhku. Menembusi dagingku. Dan akhirnya semua hanya gelap. Sempat terdengar olehku teriakkan histeris dari ibuku.
Sekarang aku ingat semua. Tapi masih terlalu tiba-tiba untuk menjadi kenyataan bagiku. Dua hari lalu ketika aku menemani ibuku ke pasar, seorang teroris mencoba menembak seorang pejabat yang kebetulan berada di dekatku. Bagi polisi aku hanyalah korban dari peluru nyasar. Tapi sungguh. Pejabat itu menarikku untuk melindungi dirinya dari sasaran peluru.
Di atas ranjang putih itu aku terbujur kaku. Tertutup oleh kain putih yang tak kalah putih dengan ruangan itu. Satu jam lalu nafasku terhenti.
Aku mendekati ragaku. Aku sungguh pucat di sana. Aku takut melihatnya. “Itu aku,” batinku.
Perlahan suara isak tangis mereka semakin jelas. Rasanya menyakitkan. Seolah menyayatiku.
“Jangan menangis lagi!” pintaku. Namun tak ada yang mendengar. “Aku juga berat untuk meninggalkan kalian. Aku juga tidak rela kehilangan kalian. Aku juga sedih.”
Akhirnya seorang dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan itu. Membawa ragaku ke luar dan memasukkanku ke dalam ambulance.
Di siang hari yang cerah itu hujan turun menghujam bumi. Seolah mewakili kesedihan yang kini menaungi auraku. Semua orang minggir ke tepi. Berteduh di teras rumah sakit. Sedangkan aku terus berdiri di samping ambulance itu. Menikmati hujaman hujan yang menembusku. Kurentangkan tanganku lebar-lebar. Aku ingin menyentuhnya. Merasakan sakit dan dinginnya tetesan air langit itu. Tapi tetap saja ia menembusku.
Kini harapanku hanya satu. Aku ingin sekali menyentuh hujan. Agar air hujan itu mencairkanku. Membawaku larut dalam alirannya. Menghapus semua memori akan keberadaanku selama ini. Supaya sedih itu lenyap. Hilang...
Belum cukup banyak kenangan yang kuukir bersama kalian
Belum cukup banyak peristiwa yang kulalui dengan kalian
Belum cukup banyak cerita yang kusampaikan pada kalian
Belum cukup banyak perasaan yang kucurahkan untuk kalian
Namun kini aku harus menghilangkan memori yang belum cukup banyak itu
Aku harus merelakan semua keinginanku
Aku harus membunuh egoku
Meski sungguh berat
Meski sangat perih
Lupakanlah aku
Agar aku tenang
****Menyentuh Hujan selesai****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar