Minggu, 21 September 2008

Cerpen Maya

Aku kembali menghapus deretan kata-kata di monitor komputerku. Otakku mulai berputar lagi untuk mencari ide yang lebih menarik. Aku harus menyelesaikan cerpen ini, tapi waktu yang ku punya hanya tinggal dua minggu lagi. Aku semakin gusar dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang terjepit.

Aku Maya Astia. Seorang pelajar SMA yang gemar menulis. Tapi itu bukan berarti aku pandai menulis.

Kali ini aku ingin mencoba menuangkan kegemaranku dalam suatu lomba yang diadakan oleh sebuah majalah remaja. Aku harus benar-benar memutar otak karena cerita yang kubuat harus bertema remaja. Kehidupan remaja yang belum sepenuhnya kumengerti.

Malam semakin larut. Aku yang semakin lelah mencari ide cerita untuk cerpenku pun juga ikut terlarut dalam dunia mimpi.
***
“Pagi, Maya...” sapa Desti.

“Pagi juga, Dest,” jawabku lesu dengan mata yang masih lima watt.

“Kenapa? Tidur larut lagi ya?” tanya Desti sambil meletakkan tasnya ke atas meja di sebelahku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Masih belum dapat ide cerita juga?” tanyanya setelah duduk di sebelahku. Akupun mengangguk pelan.

“Apa susah sekali ya mencari ide cerita yang bagus itu?” tanyanya lagi. “Memangnya cerita yang bagus itu menurutmu cerita yang seperti apa sih? Siapa tahu aku bisa kasih masukan.”

Aku berpikir sejenak. Selama ini aku tidak pernah punya kriteria khusus untuk menentukan seperti apa cerita yang bagus itu. Selama ini aku hanya berpikir bahwa cerita yang bagus itu cerita yang dapat menyentuh hati pembacanya. Dalam bentuk apapun.

“Seperti apa?” Desti mengulang pertanyaannya karena aku tak juga menjawab.

“Ah! Maaf,” jawabku tersadar kalau Desti masih menunggu jawabanku. “Menurutku cerita yang bagus itu cerita yang bisa menyentuh hati pembacanya.”

“Itu saja? Tidak ada yang lain? Kamu yakin, May?”

“Kurasa, ya,” jawabku sedikit ragu.

“Kalau gitu maaf. Aku tidak bisa membantumu. Karena menyentuh atau tidaknya suatu cerita itu relatif. Tergantung pada pembacanya,” ujar Desti.

“Itu sebabnya sangat sulit bagiku untuk menulis cerpen ini. Karena cerpen ini untuk remaja. Remaja yang punya banyak karakter.”

“Berjuang lebih gigih ya!” seru Desti mencoba memberiku semangat. “Kalau Maya pasti bisa.”

Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata itu. Hanya Destilah yang mau memberiku semangat. Teman yang selalu mencoba membesarkan hatiku.
***

Hari ini aku harus bisa menyelesaikan cerpen ini. Aku tidak boleh mengecewakan Desti yang percaya padaku. Aku akan membuat cerpen yang bisa menyentuh hati pembacanya. Cerpen yang bagus.
***
Aku mulai mengetik. Menuangkan kata-kata yang akan kurangkai menjadi cerpen itu.
Di luar sana malam kian larut. Tapi tuts-tuts key board ku masih menghentak mengiringi kesunyian malam.
Malam ini aku akan tidur larut lagi. Tapi besok pagi aku akan memperlihatkan cerpenku pada Desti. Dialah orang pertama yang akan membaca cerpenku.
***

Semalam aku tidur terlalu larut. Lebih larut dari biasanya. Dan hal itu membuatku bangun terlambat. Untung saja aku masih diizinkan masuk oleh guru piket. Dan untung saja guru yang mengaja rtidak terlalu galak sehingga aku masih bisa mengikuti pelajarannya meskipun harus menyelesaikan beberapa soal sebagai sanksinya.

“Dest, aku punya kabar gembira,” biskku saat sampai di kursi.

“Kabar gembira apa?” tanyanya penasaran.

“Nanti saja saat istirahat,” ujarku.

“Benar ya!”

Aku mengangguk pelan.

Saat jam istirahat Desti langsung menagih janjiku.

“Apa kabar gembiranya?” tanya Desti penasaran.

“Hm... penasaran ya?”

“Cepat dong, May! Apa kabar gembiranya?” desak Desti.

“Ini,” ujarku sambil menyodorkan cerpenku.

“Ini?” bisiknya tak percaya. “Cerpennya sudah jadi?”

Aku mengangguk.

“Benarkan kataku. Kalau Maya pasti bisa.”

“Coba kamu baca. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang cerpenku ini.”

“Baik. Akan ku baca sekarang juga.”

Desti mulai membaca cerpenku. Aku jadi merasa deg-degan. Kira-kira apa komentar Desti? Baguskah cerpen yang kubuat ini?

Aku memperhatikan Desti yang sedang membaca cerpenku. Menunggunya selesai membaca dan berkomentar.

“Maya,” ujarnya sambil menyerahkan naskah cerpen itu poadaku. “Kenapa kamu buat cerita yang sedih begini?” cerpen ini membuatku ingin menangis,” ujarnya sambil menyeka air matanya yang mulai keluar.
Aku masih diam menunggu komentar apa lagi yang akan Desti ucapkan.

“Cerpenmu sedih sekali. Tapi ini cerpen paling bagus yang pernah ku baca.”

“Benarkah?” tanyaku nyaris tak percaya. “Kamu tidak bohong kan?”

Desti menggeleng. Aku merasa sangat senang. Cerpenku dipuji oleh teman yang sangat aku hargai.

Aku sangat percaya akan apa yang Desti katakan. Desti tidak mungkin bohong. Ah... akhirnya aku tidak mengecewakannya. Aku tidak sabar lagi ingin mengirimkan cerpenku ini.

***

Aku melangkah menuju kantor pos. Aku akan mengirim cerpenku. Segera. Aku terlalu bahagia sampa-sampai tidak menyadari ada pria yang melintas di depanku. Kami bertabrakan hingga bawaanku terjatuh.

“Maaf,” ujarku sambil mengumpulkan bawaanku yang sudah jatuh berserakan.

Pria itu tidak menjawab.dia langsung membantuku mengumpulkan bawaanku.

“Kamu ikut lomba cerpen ini ya?” tanya pria itu saat melihat alamat yang tertera pada amplop cerpenku.

“Ya,” jawabku singkat.

“Boleh ku baca?” tanya pria itu.

Aku terdiam. Mengapa tidak? Toh tadi Desti sudah memuji cerpenku ini.

“Boleh?” tanyanya.

“Ya. Silahkan.”

“Terima kasih.”

Pria itu mulai membaca cerpenku. Sama sekali tidak tampak ekspresi keluar dari raut wajahnya kecuali kerutan di dahinya. Tak lama pria itu menyerahkan kembali cerpenku.

“Tidak menarik,” ujar pria itu datar. “Terlalu pasaran dan dibuat-buat. Kesannya kamu ingin menyentuh hati pembaca tapi jadinya justru sebaliknya, membuat pembaca bosan.”

Aku benar-benar terkejut mendengar komentar pedasnya yang sangat bertentangan dengan apa yang telah Desti katakan. “Kamu tahu apa sih tentang cerpen? Mau menjatuhkan semangatku?”

“Aku hanya berkomentar sesuai dengan apa yang aku rasakan. Apa salah?”

“Kamu hanya sok tahu!”

“Terserah kamu mau bilang apa,” ujarnya masih dengan tenangnya. “Saranku, jangan buat cerita dengan mengandalkan khayalan saja. Karena khayalan saja tak akan pernah cukup untuk menghidupkan suatu cerita. Cobalah membuat cerita dengan melihat dirimu. Sebenarnya dalam diri kita tertulis cerita yang sangat menarik. Dan lagi, jangan terlalu terpengaruh dengan penulis lain! Jadilah dirimu sendiri!”

Rasanya aku ingin menangis saja mendengar kata-kata pria itu. Dia menghinaku. Pria yang baru pertama kali kutemui dan tak kukenal telah menghujamku dengan kata-kata yang amat dalam.

“Kamu itu sangat menyebalkan! Kamu itu sok tahu!” makiku kesal sambil berlalu meninggalkannya.

“Siapa sih dia? Sok sekali. Baru pertama kali bertemu sudah memberi kesan yang buruk,” sungutku dalam hati.
Akhirnya aku sampai juga di kantor pos. Tapi entah mengapa aku jadi kepikiran dengan kata-kata pria tadi. Kata-katanya benar-benar membuatku kecut. Aku berbalik meninggalkan kantor pos dan mengurungkan niatku untuk mengirim cerpenku ini.

Aku akan menanyakan pendapat Desti untuk yang kedua kalinya tentang cerpenku ini.

***
“Sudah dikirim cerpennya?” tanya Desti saat bertemu denganku keesokan harinya. Aku hanya menggeleng.

“Lho? Kenapa?” tanya Desti heran.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Desti itu.

“Apa benar cerpenku sebagus yang kau katakan itu?”

“Kenapa nanya seperti itu? Cerpenmu itu sangat bagus kok.”

“Tapi kemarin...”

“Kemarin memangnya kenapa?” tanya Desti bingung.

“Kemarin ada seorang pria yang mmbaca cerpenku, lalu dia memberi komentar yang sangat bertentangan denganmu. Dia...” aku menceritakan semua kejadian kemarin pada Desti seolah-olah kejadian itu terulang kembali. Desti mendengarkanku sambil sesekali menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Dia bilang begitu?” tanya Desti memastikan setelah aku selesai bercerita padanya.

Aku mengangguk kecil. “Apa benar begitu?”

“Tentu tidak. Ceritamu sangat bagus.”

“Kumohon jujurlah!” pintaku. “Anggap saja sekarang kamu bukan temanku. Anggap saja kamu itu seorang komentator yang tidak mengenalku.”

“Maya...”

“Kumohon...”

Desti mengangguk kaku.

“Ternyata benar. Aku ini tidak berbakat ya...”

“Tidak. Kamu berbakat kok.”

“Sudah! Jangan membuatku berharap lebih lagi,” seruku kemudian pergi meninggalkan Desti. Aku kecewa. Kesal. Dan marah pada diriku ini.

***

Aku terdiam sendiri di kamarku. Aku benar-benar kecewa. Kata-kata telak itu pun mendapat pengakuan dari sahabatku. Aku ini benar-benar mengecewakan. Di tengah lamunanku tiba-tiba saja handphone ku bunyi. Ada sms masuk. Dari Desti. Aku membaca sms itu dengan malas. Desti mencoba memberiku semangat. Lagi-lagi dia bilang ‘kalau Maya pasti bisa’. Aku jadi teringat pada kata-kata pria itu. ‘jangan membuat cerita dengan hanya mengandalkan khayalan. Tapi cobalah membuat cerita dengan melihat diri kita sendiri karena dalam diri kita ada cerita yang sangat menarik’.

Semangatku kembali bangkit. Baiklah kalau begitu. Aku akan membuat cerita yang sangat bagus agar Desti tidak kecewa dan agar pria itu tahu kalau aku bisa membuat cerita yang sangat menarik.

Aku akan membuat cerita dengan melihat jauh pada diriku. Akan kuselesaikan. Aku akan beritahu Desti kalau aku tidak akan menyerah.

Malam ini untuk kesekian kalinya aku akan tidur larut. Tapi tidak apalah. Toh besok hari minggu.

***

Setelah dua malam berusaha akhirnya aku bisa menyelesaikan cerpen yang menurutku sangat bagus. Aku akan mengirimnya hari ini sepulang sekolah.

Aku melangkah ke kantor pos. Untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini aku tidak akan membawa kembali cerpenku pulan. Aku akan mengirimnya. Tekadku sudah bulat.

Di jalan aku tidak bertemu dengan pria itu. Tapi nanti bila aku bertemu lagi dengannya aku akan memaksanya membaca cerpenku ini. Agar dia tidak lagi menganggab remeh aku.

***

“Kapan pemenang cerpen itu diumumkan, May?” tanya Desti sepulang sekolah.

“minggu ini. Dan majalahnya akan terbit besok,” jawabku. “Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hasilnya.”

“May, aku yakin kamu bisa.”

“Terima kasih. Kamu selalu memberiku semangat. Tapi apapun hasilnya nanti aku tidak akan patah semangat lagi. Kalau gagal aku akan terus mencoba dan mencoba. Melihat lebih dalam lagi pada diriku. Mencari dan menemukan cerita yang tertulis di dalamnya.”

Desti tersenyum simpul mendengar perkataanku.

Sebuah sedan hitam berhenti di samping kami.

“Aku sudah di jemput. Kamu mau bareng?” tawar Desti.

Aku menggeleng kecil.

“Ya sudah. Aku duluan ya, May.”

“Ya,” jawabku sambil melambai padanya.

***

Aku terbangun saat handphone ku berdering.

“Desti? Kenapa juga dia nelpon sepagi ini?”

Aku mengangkat telpon darinya.

“Ada apa, Dest?” tanyaku masih dalam keadaan mengantuk.

“Kamu sudah baca majalahnya?” tanya Desti. Suaranya keras sekali. “Nama kamu. Nama kamu, May. Nama kamu ada di dalam majalah itu. Kamu menang. Juara satu.”

“Ha??” responku tak percaya. “Kamu masih mimpi ya?”

“May, aku serius. Kamu harus ke kantor redaksi sekarang. Kamu harus teken kontrak untuk menulis cerpen di sana!”

“Kamu serius?” tanyaku. “Baiklah. Aku segera kesana.”

Aku langsung berangkat menuju redaksi. Benarkah apa yang telah di katakan Desti?

Sesampainya di redaksi aku dan Desti harus menunggu selama dua jam. Saat giliranku di panggil Desti menemaniku memasuki ruangan. Betapa terkejutnya aku saat melihat pria yang duduk di ruangan itu. Dia orang kejam yang tidak tahu sopan santun dan telah menghina cerpenku!

“Kamu kenapa bisa ada di sini?”

“Aku bekerja di sini. Menangani bagian cerpen. Termasuk perlombaan ini,” jawabnya datar. “Ku akui kalau cerpenmu ini cukup menarik. Tapi jangan bangga dulu karena masih ada beberapa bagian yang menurutku masih belum pas dan harus di perbaiki.”

“Kamu ini, benar-benar menyebalkan, ya. Kamu itu selalu mencari kesalahan orang lain,” sungutku jengkel.

“Ya... tapi aku senang kamu mau mendengarkan saranku.”

“Cerpen Maya memang selalu bagus,” ujar Desti.

“Ya, cerpen yang diambil dari kehidupan Maya yang maya,” ujar pria itu. “Maya. Mulai hari ini suka atau tidak suka kau harus terbiasa dengan kritikanku karena kita akan bekerja sama menangani bagian cerpen. Oya! Namaku Adrian,” ujarnya sambil menjabat tanganku.

“Ya, kuharap aku bisa tahan. Asalkan kau tidak membuatku terlalu kesal,” ujarku sambil menerima jabatan tangannya.

“Dia tersenyum. Sangat manis. Itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Tampaknya umurnya tidak terlalu tua. Dia masih bisa dikatakan terlalu muda untuk mendapat bagian di redaksi ini.

“Ternyata kamu lumayan cakep juga, ya,” celutuk Desti membuat wajahnya memerah seperti tomat.

“Semoga kami bisa bekerja sama,” aku berharap di dalam hati.

***Cerpen Maya selesai***

Tidak ada komentar: